Polri dan OJK Jelaskan Ranah Penyidikan Sektor Jasa Keuangan
SinPo.id - Viktor T. Sihombing dari Kepolisian Republik Indonesia (Polri) dan Rizal Ramadhani selaku Deputi Komisioner Hukum dan Penyidikan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyampaikan keterangan atas uji materiil Pasal 8 Angka 21 Pasal 49 ayat (5) dan Pasal 8 Angka 21 Pasal 49 Ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK) di Ruang Sidang Pleno MK pada Senin 28 Agustus 2023. Permohonan Perkara Nomor 59/PUU-XXI/2023 ini diajukan oleh Serikat Pekerja Niaga Bank Jasa Asuransi, dkk. Sidang kelima dengan agenda mendengarkan keterangan dari Pihak Terkait Polri dan OJK ini dipimpin oleh Ketua MK Anwar Usman bersama dengan Wakil Ketua MK Saldi Isra berserta tujuh hakim konstitusi lainnya.
Viktor menyebutkan dalam pelaksanaan penyidikan yang dilakukan oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) berada di bawah pengawasan Polri. Hal ini dijelaskan dalam Pasal 7 ayat (2) KUHAP bahwa dalam pelaksanaan tugas penyidikan, koordinasi terhadap PPNS juga dilakukan di bawah Polri. Sebagaimana diketahui, penindakan hukum pidana umum yang dilakukan Penyidik didasarkan pada ketentuan pada KUHAP dan UU Polri. Di mana Polri berwenang untuk melakukan penyidikan untuk semua tindak pidana.
Diakui oleh Viktor bahwa penegakan hukum pidana khusus yang didasarkan pada pidana tertentu dilakukan dalam rangka merespons berbagai perkembangan tindak pidana yang terjadi di masyarakat. Terkait dengan tugas ini, Polri melakukan klasifikasi berupa penyidikan hanya dilakukan Polri dan penyidikan yang dapat dilakukan oleh Polri atau lembaga lain yang diberikan kewenangannya oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan.
Lebih jelas Viktor mengatakan sebelum terbitnya UU OJK, Polri membentuk tim penyidik yang memiliki wewenang untuk menyidik perkara keuangan atau sektor perbankan, pasar modal, sektor perasuransian, sektor dana pensiun, sektor perbankan syariah, sektor mata uang. Untuk menangani semua perkara terkait bidang tersebut, Polri membentuk Direktorat Tindak Pidana Ekonomi Khusus dengan berbagai subdirektor dan satuan organisasi.
Lebih lanjut Viktor menjelaskan personel yang ditugaskan pada bidang-bidang tersebut sebelumnya telah dibekali dengan pendidikan dan pelatihan bagi pengembangan kapasitas melalui berbagai pendidikan spesialis. Dalam hal ini, Polri berupaya memenuhi kebutuhan untuk mendukung pelaksanaan penyidikan sektor jasa keuangan dengan memodernisasi teknologi, salah satunya dengan pelatihan cyber lab dan lainnya. Penyidikan bidang sektor keuangan ini dilakukan oleh Penyidik Polri sebagaimana UU Sektor Keuangan yang menyatakan bahwa PPNS yang berada di bawah koordinasi Polri sebagaimana amanat Pasal 7 ayat (2) KUHAP.
“Namun setelah UU OJK lahir, maka penyidikan dapat juga dilakukan oleh OJK yang menyatakan, selain kepolisian, maka pejabat OJK tertentu dapat melakukan penyidikan sebagaimana ditentukan oleh KUHAP,” urai Viktor.
Pegawai Tertentu
Rizal Ramadhani selaku Deputi Komisioner Hukum dan Penyidikan OJK memberikan keterangan bahwa UU P2SK mengatur kewenangan OJK melakukan penyidikan di sektor jasa keuangan dan ini tidak menganulir kewenangan Polri dalam melakukan penyidikan. Sebab, penyidik pegawai tertentu di OJK memiliki nilai tambah sebagai penyidik pada sektor jasa keuangan karena beberapa hal, yakni tugas dan fungsi sebagai pengawas dan pola rotasi pegawai mendukung terbentuknya keahlian penyidik khusus di sektor jasa keuangan; pengalaman dan kemampuan mengawasi sektor jasa keuangan akan mempercepat mempelajari jenis tindak pidana sektor jasa keuangan termasuk perluasan tindak pidana dalam UU P2SK.
“Dengan adanya kekhususan tindak pidana dan teknik investigasi di sektor keuangan serta nilai tambah pegawai OJK ini, maka ketentuan tentang Pegawai Tertentu OJK sebagai penyidik telah sesuai dengan tujuan penegakan hukum tindak pidana di sektor jasa keuangan yang efektif dan optimal dalam melindungi masyarakat dan konsumen sektor keuangan dan perkembangan sektor jasa keuangan yang makin kompleks,” sebut Rizal.
Sementara itu terkait dengan konsep penegakan hukum tindak pidana sektor jasa keuangan tidak harus dilakukan dengan sanksi pidana, tetapi perlu dilakukan pemulihan pada pihak yang dirugikan terlebih dahulu. Sehingga keberadaan penyidik OJK menjadi pondasi dalam penguatan di sektor jasa keuangan sebagaimana disebutkan pada Putusan MK Nomor 102/PUU-XV/2018. Pada intinya, sambung Rizal, kewenangan piranti hukum OJK ini diperlukan agar sektor jasa keuangan mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil dengan mengutamakan keamanan konsumen dan masyarakat.
Sebagai tambahan informasi, Permohonan Perkara Nomor 59/PUU-XXI/2023 ini diajukan oleh Serikat Pekerja Niaga Bank Jasa Asuransi (SP NIBA) AJB Bumiputera 1912 (Pemohon I), I Made Widia (Pemohon II), Ida Bagus Made Sedana (Pemohon III), dan Endang Sri Siti Kusuma Hendariwati (Pemohon IV). Para Pemohon mengujikan Pasal 8 Angka 21 Pasal 49 ayat (5) dan Pasal 8 Angka 21 Pasal 49 Ayat (1) huruf c UU P2SK.
Pasal 49 Ayat (1) huruf c UU P2SK menyatakan, “Penyidik Otoritas Jasa Keuangan terdiri atas: … c. pegawai tertentu, yang diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, untuk melakukan penyidikan tindak pidana di sektor jasa keuangan.”
Pasal 49 ayat (5) UU P2SK menyatakan, “Penyidikan atas tindak pidana di sektor jasa keuangan hanya dapat dilakukan oleh penyidik Otoritas Jasa Keuangan.”
Dalam sidang Pendahuluan yang digelar di MK pada Senin (19/6/2023), Pemohon I sebagai badan hukum privat, telah dirugikan hak konstitusionalnya dalam rangka membela kepentingan hukum anggotanya selaku pekerja dan warga negara, karena keberadaan ketentuan UU P2SK. Kerugian yang dialami karena tidak dapat menempuh upaya hukum melalui sarana penegakan hukum di Kepolisian RI atas terjadinya tindak pidana di sektor jasa keuangan—seperti permasalahan Asuransi Jiwa Bersama Bumiputera 1912. Kecuali hanya melalui proses penegakan hukum saat penanganan penyidikan tunggal tindak pidana di sektor jasa keuangan, yang hanya dapat dilakukan oleh Penyidik Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Dalam pandangan Pemohon I konsekuensi keberadaan ketentuan UU P2SK tersebut, dinilai menimbulkan persoalan konstitusional dalam hal keberadaan Penyidik Pegawai Tertentu OJK. Sebagaimana diatur dalam ketentuan UU P2SK yang sangat potensial dengan penalaran yang wajar dapat dipastikan terjadi melakukan penanganan penyidikan tunggal tindak pidana sektor jasa keuangan yang dilakukan oleh Penyidik Pegawai Tertentu OJK, apabila dimaknai hanya satu-satunya sarana penanganan penyidikan tunggal tindak pidana oleh OJK. Ketentuan norma ini berdampak langsung terhadap kepentingan hukum anggota Pemohon I yang sedang dalam pengawasan dan penanganan administratif oleh OJK.
Lebih terperinci dalam permohonan dinyatakan ketidakpastian hukum dalam proses penegakan hukum apabila Pemohon II hanya dapat menempuh upaya hukum sebagaimana ketentuan pasal-pasal a quo yang menyatakan fungsi penyidikan tunggal yang hanya dapat dilakukan oleh penyidik OJK. Dalam pandangan Pemohon sebagai bagian dari masyarakat, kemudian tidak terlayani dengan baik dalam penegakan hukum atas penolakan laporan pidananya. Sehingga fungsi OJK sebagai pihak yang melakukan penyidikan ini dinilai telah memonopoli penyidikan di sektor jasa keuangan. Akibatnya hal ini dinilai bertentangan dengan prinsip due proces of law berdasarkan asas kepastian hukum yang adil, sebagaimana dijamin dalam Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 serta mereduksi kewenangan Kepolisian RI sebagai organ utama alat negara yang bertugas menegakkan hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 30 ayat (4) UUD 1945.
Untuk itu, dalam petitum provisinya, Pemohon meminta agar Mahkamah menyatakan mengabulkan permohonan provisi para Pemohon. Selain itu, Pemohon juga meminta agar Mahkamah menyatakan menunda keberlakuan UU P2SK sampai ada putusan Mahkamah dalam perkara a quo. Selama penundaan tersebut, undang-undang yang digunakan adalah Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan.