Soroti Kasus Mintarsih, Waka MPR Hidayat: Ketidakadilan Tidak Boleh Terjadi
SinPo.id - Wakil Ketua MPR RI Hidayat Nur Wahid menyoroti penanganan pelaporan dugaan pemalsuan akta CV Lestiani dan PT Blue Bird yang ditangani Polri. Apalagi, penegakan hukum yang adil merupakan cita-cita dari kemerdekaan Indonesia.
"Bahwa cita-cita ingin menjadi Indonesia medeka dulu, adalah untuk lepas dari ketidakadilan dan depresi penjajahan yang dilakukan oleh penjajah Belanda," kata Hidayat kepada wartawan di Jakarta, Jumat, 25 Agustus 2023.
Tak hanya itu, kata Hidayat, cita-cita mewujudkan keadilan tersebut dituangkan dalam Pancasila. Kata adil bahkan muncul dua kali dalam butir Pancasila.
"Kata adil itu muncul dua kali kan, dari sila kelima kepanjangannya karena kita sudah berada di posisi 78 tahun Indonesia merdeka, harusnya ada grafik yang kalau pun ada masalah tapi grafiknya menunjukkan naik gitu," kata dia.
Untuk itu, dia mengingatkan agar penanganan hukum yang adil harus dirasakan semua pihak. Termasuk, pemilik sebagian saham di PT Blue Bird Taxi, Mintarsih Abdul Latief, yang tengah mencari keadilan ke kepolisian.
"Sehingga rakyat percaya bahwa kita berada di alam merdeka dengan penegakan keadilan yang terlihat setiap tahun lebih baik dari tahun-tahun sebelumnya," ucap dia.
Sementara itu, Pakar Hukum Pidana dari Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta Prof Mudzakkir menanggapi berbagai persoalan hukum yang diduga kerap kali hanya berjalan di tempat. Bahkan berlarut-larut tanpa adanya kepastian hukum.
Salah satunya yang dilaporkan Mintarsih ke Bareskrim Mabes Polri. Dia mengadukan persoalan tersebut dengan didampingi kuasa hukumnya Kamaruddin Simanjuntak.
"Kalau terkait masalah pidana pada umumnya mereka, penegak hukum itu masih timbang-timbang (menimbang), karena kalau diproses harus memerlukan biaya dan biaya yang keluar dari negara juga itu besar. Kalau tidak diproses juga itu kadang-kadang juga itu, apa namanya itu juga (hak) warga negara, jadi di situ dilematis," ujar Mudzakkir.
Dia mengamini soal hukum pidana memang tidak didesain untuk memulihkan kembali kerugian aset atau keuangan yang diderita oleh korban.
"Tapi adil itu parameternya adalah memasukkan ke penjara," kata dia.
Sehingga, kata Mudzakkir, uang atau aset tidak kembali tapi kompensasi dalam bentuk masuk penjara. Namun, seiring waktu tujuan memenjarakan agar kapok itu bergeser dengan lahirnya, restoratif justice. Artinya, jika persoalan bisa diselesaikan dengan cara memulihkan kerugian korban dalam hal ini Mintarsih maka tujuan dari restoratif justice terwujud.
"Kalau orang berbuat kejahatan harus nanggung kerugiannya yang terjadi itu kan juga memberi efek jera kepada yang pelakunya, kan begitu. Memulihkan kembali itu yang lebih bagus, itu yang diutamakan," tegas Mudzakkir.
Sebelumnya, Mintarsih menekankan dirinya telah memberikan semua bukti terkait laporannya ke polisi. Bukti itu dia serahkan saat ke Bareskrim.
"Pada waktu itu sudah saya berikan semua bukti, jadi itu semua bukti asli saya perlihatkan, lalu fotocopy saya berikan dan disitu mulai saya beberkan mulai dari awal sampai akhir dan terkena pasal 266, 372 dan 374, hubungannya adalah dengan masalah awal," kata Mintarsih.
"Di mana saya keluar sebagai pengurus, tetapi kenapa kok harta saya dihilangkan, jadi bagi saya itu tidak masuk akal, tapi sekarang pengacara notaris yang membuat akte itu pada saat dipanggil oleh pak Kamarudin, mengatakan sebetulnya harta saya tetap ada, dengan penekanan seharusnya saya sebagai persero bukan semua habis karena saya mundur sebagai pengurus," ucapnya.