Fahri Hamzah: Pejabat Negara Jangan Terlalu Dangkal Respons Kritik Oposisi

Laporan: Martahan Sohuturon
Senin, 07 Agustus 2023 | 09:53 WIB
Wakil Ketua Umum DPN Partai Gelombang Rakyat (Gelora) Indonesia Fahri Hamzah. (SinPo.id/Dok. Partai Gelora)
Wakil Ketua Umum DPN Partai Gelombang Rakyat (Gelora) Indonesia Fahri Hamzah. (SinPo.id/Dok. Partai Gelora)

SinPo.id - Wakil Ketua Umum DPN Partai Gelombang Rakyat (Gelora) Indonesia Fahri Hamzah meminta semua pihak, khususnya di lingkar kekuasaan merespons kritik dari oposisi dengan jawaban. Menurutnya, langkah seperti itu harus dilakukan dibandingkan beralih kepada isu pribadi yang membuat kualitas dari pertengkaran menjadi sangat rendah dan dangkal.

“Presiden Jokowi sendiri menjawab enteng (setiap kritikan yang diarahkan ke dirinya), dengan mengatakan, ‘itu soal kecil!’ Terus kenapa yang lain anggap besar? Aneh?” kata Fahri Hamzah melalui keterangan tertulisnya pada Senin, 7 Agustus 2023.

Fahri menilai aneh bila ada pejabat publik yang seharusnya menjadi juru bicara pemerintah menjawab kritik, malah mengambil pribadi kritik sebagai penghinaan, lalu lapor polisi.

“Lah, sampeyan digaji sebagai pejabat negara malah kerja melayani sentimen pribadi. Nggak paham mana wilayah pribadi dan mana publik,” sindir mantan Wakil Ketua DPR RI Periode 2014-2019 ini.

Menurut Fahri, ini termasuk bagian yang sulit dilakukan karena secara umum orang tidak bisa membuat perbedaan dan cenderung mencampuradukan. Padahal, ada beda kritik dengan laporan penghinaan kepada pejabat publik.

“Kalau kritik Itu, harus dijawab dengan jawaban. Itu tugas mereka sebagai pejabat. Sementara penghinaan nggak usah dibesar-besarkan sesuai permintaan yang dianggap terhina,” ujar calon Legislatif (Caleg) dari Partai Gelora Indonesia untuk Dapil Nusa Tenggara Barat I itu.

Ia sendiri melihat beberapa kritik yang diajukan kepada pemerintah tidak terlalu kuat argumennya. Karena sebenarnya membantah kritik itu dapat menciptakan suasana yang lebih mendidik bangsa ini, daripada membelokan dalam pasal-pasal penghinaan dan pencemaran.

Fahri mencontohkan, kritik tentang proyek infrastruktur misalnya, jika tidak memiliki data-data dan keahlian yang memadai, maka kritik kepada program pembangunan infrastruktur itu bisa akan sangat mudah dibantah. Kecuali kalau yang memberikan kritik memiliki data yang lebih akurat yang membuat argumen yang lebih kuat.

Termasuk kritik tentang Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara misalnya, juga tidak bisa hanya sekedar mempertimbangkan argumen teknis (lahan, lokasi, biaya, waktu dll), karena perpindahan Ibukota bukanlah perpindahan biasa tapi mengandung argumen-argumen historis, filosofis dan strategis yang seharusnya di jurubicarai oleh para pejabat pemerintahan.

“Saya pernah membela pendirian IKN, tapi juga pernah mengeritik nya yang menurut saya sekarang kedua-duanya dapat diletakkan dalam satu argumen yang solid bahwa bangsa Indonesia memerlukan monumen perpindahan dari abad pertama ke abad kedua. Itulah IKN,” katanya.

Begitu pula terkait kritik terhadap investasi asing dan lain lainnya, yang menurut dia sudah pernah terjadi di negara Indonesia. Bahkan pada masa Orde Baru pernah menjadi pemicu munculnya peristiwa kerusuhan yang disebut Peristiwa Malari (Malapetaka Lima Belas Januari atau Malari), adalah peristiwa demonstrasi mahasiswa dan kerusuhan sosial yang terjadi pada 15 Januari 1974.

“Tetapi faktanya sekarang, sedang ada pertarungan antara pemain ekonomi lama yang disebut sebagai kapitalisme lama dengan pemain baru yang kita sebut sebagai kapitalis baru yang dipimpin oleh negara Tiongkok yang menawarkan investasi yang lebih gampang dan mudah serta transfer teknologi yang terbukti dianggap lebih baik,” sebut Fahri.

Sehingga ketika presiden memilih mitra investasi untuk berbagai proyek besar tentu mempertimbangkan juga kemudahan-kemudahan dalam realisasi dan tindak lanjut dari pada investasi itu.

“Argumen ini cukup kuat selain harus memikirkan efek-efek strategis dan politik serta geopolitik dari  sebuah pemilihan mitra ekonomi negara,” tutur Fahri.

BERITALAINNYA
BERITATERKINI