Menyegarkan Kembali Sekolah Kita

Asep Mulyana *
Minggu, 23 Juli 2023 | 10:03 WIB
Ilustrasi (SinPo.id/Pixabay.com)
Ilustrasi (SinPo.id/Pixabay.com)

Dalam masyarakat kita, sekolah dianggap sebagai pintu gerbang menuju masa depan yang lebih cerah, sebuah kunci untuk menghindarkan diri dari belenggu kemiskinan. Keyakinan bahwa sekolah dan kepintaran adalah obat “palugada” untuk meraih kesuksesan di masa depan telah berurat-berakar dalam cara pandang masyarakat kita. Tanpa pendidikan, kita khawatir masa depan seseorang akan suram, utamanya hadirnya kecemasan bahwa orang yang tak pintar dan tak bersekolah tinggi akan mudah terperosok dalam kemiskinan.

Seringkali tersembunyi stereotype bahwa orang miskin tetap miskin karena mereka bodoh. Seolah-olah pendidikan adalah satu-satunya jalan untuk menaklukkan semua kesulitan hidup. Kita lupa bahwa banyak faktor struktural, seperti paradigma pembangunan, kebijakan ekonomi, dan program-program pemerintah yang kurang berpihak kepada kaum miskin, yang berkontribusi kuat bagi proses pendalaman kemiskinan ini.

Perspektif Keliru Tentang Pendidikan

Diskursus ini kemudian terus direproduksi dalam berbagai medium, bahkan meresap, begitu halus, hingga ke level emosi masyarakat, sehingga membentuk mindset, sikap, dan perilaku individu, serta membentuk nilai-nilai kolektif dalam masyarakat kita. Akibatnya, banyak orang berbondong-bondong ke sekolah, berlomba-lomba meraih prestasi tertinggi, dan berusaha merebut gelar juara dalam kontestasi di sekolah, antarsekolah, antarkota, dan antarpropinsi. Ambisi meraih prestasi dan juara lebih sering mengalahkan semangat kolaborasi dan gotong royong yang seharusnya dibangun di lingkungan sekolah.

Sayangnya, dalam perjalanan waktu, nilai kolektivitas terkadang terpinggirkan oleh dorongan individualisme. Ini adalah hasil dari sekolah kita yang menekankan bahwa siswa HARUS berprestasi, HARUS menjadi yang terbaik, tanpa memberikan kesempatan bagi siswa-siswa yang sebetulnya memiliki potensi unik untuk berkembang dalam kerjasama tim dan semangat gotong royong. Dengan cara yang halus, sekolah dan sistem pendidikan kita sejatinya telah menyuntikkan virus individualisme dan menjauhkan anak-anak kita dari semangat untuk saling membantu, bergotong royong, berkolaborasi dalam memecahkan persoalan kehidupan yang dihadapi masyarakatnya.

Ketika kurikulum terlalu padat dan terpusat, serta mutu sumber daya manusia guru yang masih rendah, maka sekolah lebih banyak mengajarkan hal-hal yang kurang relevan dengan kehidupan sehari-hari masyarakat kita. Sekolah menjadi terpisah dari nilai-nilai dan praktik yang hidup dalam masyarakat. Sebagai contoh, di wilayah-wilayah dengan karakteristik sebagai daerah lumbung padi, mengapa siswa-siswa di sekolah tidak diajarkan bagaimana menanam padi secara efektif, produktif, dan efisien? Begitu juga di wilayah-wilayah lain yang memiliki karakteristik alam dan budaya yang berbeda.

Kurikulum yang padat, seragam, dan kurang sesuai dengan kebutuhan lokal, menyebabkan siswa tercerabut dari akar sosial mereka. Pada titik ini, kita harus mengakui bahwa sekolah belum mencapai tujuan sejati dari pendidikan, yaitu menciptakan manusia cerdas, yang mampu menyelesaikan persoalan sehari-hari yang dihadapi oleh diri mereka sendiri maupun masyarakatnya, baik secara individual maupun secara bersama-sama.

Mengembalikan Paradigma Pendidikan Lebih Humanis

Yang terjadi saat ini adalah paradoks di mana orang-orang yang bersekolah justru menambah beban kehidupan. Itu karena pelajar kita dijejali terlalu banyak pengetahuan yang tidak relevan dengan realitas persoalan sehari-hari. Pada bagian lain, hal-hal penting seperti karakter, watak, dan sifat yang baik juga tak pernah diajarkan dengan cara yang tepat--untuk mengatakan tidak ada. Sekolah hanya mengajarkan pengetahuan tanpa menghubungkannya dengan persoalan kehidupan sehari-hari.

Dalam menghadapi tantangan ini, saatnya bagi kita untuk menyegarkan kembali pendidikan kita dengan cara yang lebih bijaksana. Kita perlu berpikir ulang tentang sistem pendidikan yang inklusif, mempertimbangkan keunikan setiap pembelajar, dan lebih mendorong semangat kolaborasi dan gotong royong. Kurikulum kini sudah dirombak agar lebih sesuai dengan kebutuhan dan realitas lokal, sehingga siswa dapat terkoneksi dengan basis sosial mereka. Guru-guru juga harus diberdayakan dengan peningkatan kualitas pendidikan dan dukungan yang memadai, sehingga mereka dapat menjadi pemandu dan inspirator bagi generasi penerus.

Dengan merenung dan bergerak bersama, kita dapat menyegarkan kembali sekolah kita dengan membangun sistem pendidikan yang lebih adaptif dan berdaya guna. Sekolah bukan hanya sekadar tempat untuk memperoleh pengetahuan yang kurang relevan atau untuk meraih prestasi, tetapi seyogyanya ia menjadi tempat di mana jiwa, mental, kecerdasan, karakter baik, dan semangat gotong royong tumbuh subur. Mari kita bergandengan tangan, saling mendukung, dan menggapai masa depan pendidikan yang lebih bermakna dan relevan bagi kebutuhan pemecahan persoalan kehidupan masyarakat kita sehari-hari.

* Staf Kemenag Kota Banjar

BERITALAINNYA
BERITATERKINI