Lewat Dokumenter "Silenced Worker", Konde.co Ungkap Pekerja Film, dan Pabrik Garmen Overwork

Laporan: Sinpo
Minggu, 04 Juni 2023 | 12:58 WIB
Peluncuran buku dan film dokumenter Silenced Worker (SinPo.id/ Dok. Konde)
Peluncuran buku dan film dokumenter Silenced Worker (SinPo.id/ Dok. Konde)

SinPo.id - Konde.co meluncurkan sebuah riset yang berjudul “Kolaborasi Menolak Mati: Pemetaan Kondisi Media Perempuan di Indonesia” yang berisi tentang tantangan yang dihadapi media perempuan di Indonesia, baik media alternatif maupun media perempuan arus utara (mainstream). Selain itu, Konde.co juga meluncurkan sebuah film berjudul “Silenced Worker” atau pekerja yang dibungkam.

Film ini bercerita tentang kondisi pekerja film dan pabrik garmen yang mengalami eksploitasi di tengah ekosistem kerja yang fleksibel. Keduanya diluncurkan dalam acara “Selebrasi Kolaborasi Media Perempuan Menolak Mati” yang didukung Voice dan Google News Iniative bertempat di GoetheHaus, Jakarta, Sabtu, 3 Juni 2023.

Acara tersebut diawali dengan pemutaran film Silinced Workers berdurasi 18 menit yang dilanjutkan dengan diskusi bersama sutradara Ani Ema Susanti dan Dian Septi Trisnanti, pekerja film Gendis Sri Dewanti Runtung Wahyuni, Koordinator Advokasi Serikat SINDIKASI Bimo Arya Fundrika, dan Vice President II Indonesian Cinematographers Society/ICS Batara Goempar.

Acara kemudian dilanjutkan dengan peluncuran buku “Kolaborasi Menolak Mati: Pemetaan Kondisi Media Perempuan di Indonesia” dan diskusi bersama Peneliti Konde.co dan Dosen LSPR Lestari Nurhajati, Jurnalis Konde.co Nani Afrida, Jurnalis Kompas, Sonya Helen Sinombor , Pimpred Digitalmamaid, Catur Ratna Wulandari, Direktur PR2Media dan Dosen Komunikasi UII, Masduki, dan Ketua Dewan Pers, Ninik Rahayu. 

Pemimpin Redaksi Konde.co, Luviana Ariyanti menjelaskan, pada Februari 2023, Konde.co dengan dukungan Google News Iniative mempertemukan sebanyak 26 media perempuan alternatif dan arus utama dalam Sarasehan Media Perempuan, yang laporannya dituliskan dalam buku “Kolaborasi Menolak Mati: Pemetaan Kondisi Media Perempuan di Indonesia”.

Hasil riset menunjukkan, terdapat data media di Indonesia, namun selama ini hanya menggambarkan secara umum tentang jumlah media, yakni 47 ribu. Dengan spesifikasi sebanyak 43 ribu di antaranya adalah media daring (online), dengan jumlah perusahaan media sebanyak 1.700 (yang tercatat di Dewan Pers).

Namun, detail tentang kategorisasi segmen pembaca media dan tema media tidak bisa ditemukan datanya. Maka dari itu, sangat sulit kemudian untuk mengetahui berapa banyak jumlah media yang peduli dengan isu perempuan. Pemetaan ini juga memunculkan data tentang tumbuhnya portal dan media perempuan daring baru di Indonesia.

Media-media ini dengan progresif dan cara yang beragam, mempromosikan kepentingan, hak, dan kondisi perempuan secara terus menerus, sekaligus memberikan pendidikan untuk khalayaknya. Keberadaan media perempuan online tidak hanya ditemukan berkantor di Jakarta, tetapi juga di daerah.

Para pengelola media alternatif bekerja keras dengan daya yang terbatas untuk mengelola small news room. Sedangkan media mainstream terus memperjuangkan persoalan klasik seperti berjuang dalam big news room yang masih bias gender.

“Kami mengundang dosen, pemerhati media, organisasi dan lembaga donor untuk bersama sama memikirkan ini karena media alternatif harus hidup diantara minimnya diversity of content dan diversity of ownership. Sekaligus jurnalis media mainstream yang juga sedang berjuang untuk ini di ruang redaksinya,” kata Luviana.

Sejumlah tantangan yang dihadapi media perempuan alternatif di antaranya finansial hingga mendapatkan pembaca. Sementara, media arus utama menghadapi tantangan perubahan bisnis dan memperbesar pembaca. Produk jurnalistik tentang isu perempuan yang berperspektif dan mendukung perempuan juga jadi tantangan besar bagi media perempuan tersebut.

Peneliti Konde.co, Lestari Nurhajati mengungkapkan hal yang terpenting untuk ditangkap media perempuan adalah perspektif yang berpihak pada perempuan dan kelompok marginal. Patriarki dan bias gender dalam ruang redaksi masih menjadi kendala umum, bahkan di media perempuan sekalipun.

Kendati demikian, harapan media perempuan, khususnya media alternatif, agar tetap hidup juga senantiasa menyala. Untuk itu, kolaborasi antara media alternatif dan arus utama harus terus dibangun dan dipelihara.

“Ketika media arus utama dapat bergerak mempengaruhi pemangku kebijakan, media alternatif bisa berperan mendekati komunitas masyarakat dan keduanya dapat membawa perubahan yang berarti,” ujar Lestari.

Sementara Direktur PR2Media yang juga Dosen Universitas Islam Indonesia, Masduki mengungkapkan tentang pentingnya mendorong media alternatif di Indonesia yang terus bertumbuh untuk menjadi watchdog atau mengawasi kekuasaan. Media-media alternatif ini menuliskan secara kritis, dan hingga hari ini negara tidak mendukungnya, tidak seperti di Eropa yang umumnya negara mendukung keberadaan media-media alternatif.

Ketua Dewan Pers, Ninik Rahayu menyatakan, melihat hasil ini, Dewan Pers akan mendukung keberadaan media-media alternatif, juga perjuangan para perempuan di media mainstream.

Sementara itu, film dokumenter “Silenced Workers” mengungkap kondisi pekerja film dan pabrik garmen yang selama ini belum tersuarakan yang diproduksi oleh Konde.co dan Federasi Serikat Buruh Persatuan Indonesia (FSBPI). Para pekerja industri kreatif terutama pekerja film masih bekerja selama 18-20 jam per hari. Kondisi itu membuat pekerja kerap menjadi korban kecelakaan kerja, tabrakan lalu lintas, hingga meninggal akibat kelelahan kerja.

"Kondisi yang tidak lebih baik juga dialami pekerja perempuan pabrik garmen yang harus berdiri selama 8 jam dalam kondisi hamil karena pekerjaannya atau berstatus kontrak terus menerus dengan hak-hak kerja seperti upah layak terabaikan,"

Sementara pekerja film, Gendis Sri Dewanti mengungkapkan kondisi kerja yang eksploitatif itu dinormalisasi di tempat kerja. Para pekerja bekerja berlebihan hingga menganggu kesehatan.

“Memang banyak sekali hal-hal yang dinormalisasikan di lokasi, yang sebetulnya hal-hal itu tidak normal. Salah satunya overwork,” kata Gendis.

Lebih lanjut Batara Goempar mengungkap ada hal “manipulatif” yang membuat pekerja film menormalisasi eksploitasi kerja. “Pekerja film itu sering ditanya, kita ini sedang berkarya atau bekerja? Ini yang kadang menjadi “manipulatif” untuk pembenaran kerja berlebihan,” ujarnya.

Oleh karena kondisi kerja pekerja film yang berlebihan itu, ICS bersama SINDIKASI menginisiasi advokasi bersama pengurangan jam kerja dari 20 jam menjadi 14 jam lewat kampanye Sepakatdi14. 

Advokasi Sepakatdi14 tersebut disebut Bimo sebagai langkah awal untuk mengubah sistem kerja industri film yang jam kerjanya panjang. Selain menawarkan pengurangan jam kerja, Sepakatdi14 juga merekomendasikan jeda di antara waktu shooting selama 8 jam untuk waktu istirahat.

“Langkah awal mengurangi jam kerja ini kita mulai dari mengajak pekerja film terlebih dahulu, meski masih mendapat sejumlah penolakan. Namun, perubahan ini perlu dimulai dengan memberikan kesadaran terkait pentingnya jam kerja layak,” ujar Bimo. sinpo

Komentar: