Tjio Wie Tay Pendiri Toko Gunung Agung Pengagum Soekarno
Pada 1954 PT Gunung Agung berhasil menyelenggarakan pameran dengan judul “Pekan Buku indonesia” di Gedung Pertemuan Kotapradja (Decapark) di Jakarta berlangsung sejak 8 hingga 14 September. Pameran perbukuan tersebut sukses menggambarkan penerbitan berbagai buku dan majalah yang dimiliki oleh Republik Indonesia sejak tahun 1945.
SinPo.id - Toko Gunung Agung telah berdiri sejak tahun 1953 merupakan buah manis dari seorang pebisnis Tjio Wie Tay yang telah kenyang merasakan makan asam garam kehidupan. Tjio mulai berbisnis pada 1940 sebagai pedagang rokok asongan di Batavia, ketika usianya menginjak remaja sekitar 13 tahun.
Tjio mengandalkan sepedanya berkeliling di daerah Glodok, perkampungan Tionghoa di Batavia dalam menjajakan dagangannya . Tak lama, kemudian jualannya berpindah ke area Senen.
Di tempat barunya selain menjual rokok, Tjio turut menjual alat tulis dan makanan. Dari bisnis tersebut juga, Thio berhasil berkenalan dengan Lie Thay San, pebisnis senior dan The Kie Hoat yang merupakan pekerja pabrik rokok Perola.
Denys Lombard dalam Nusa Jawa Silang Budaya: Jaringan Asia 2, mencatat pertemuan Tjio dengan Lie Thay San dan The Kie Hoat terjadi pada akhir masa pendudukan Jepang. Ketiganya sepakat bekerjasama mencuri sejumlah besar rokok dari gedung perusahaan Perola, kemudian dijual.
Insiden tersebut ternyata dipergok oleh Direktur Perola, Ang yang akhirnya membuat The Kie Hoat dipecat. Meski demikian, ketiga orang tersebut ternyata telah memperoleh hasil penjualan yang menguntungkan.
Pada tahun 1948 ketiganya kemudian bersepakat untuk membentuk sebuah Firma dengan nama Firma Thay San Kongsie.
Leo Suryadinata dalam Southeast Asian Personalities of Chinese Descent: A Biographical Dictionary, menulis penamaan Thay San diambil dari pebisnis senior yang bergabung membentuk firmanya,yang berarti sebuah gunung agung yang terkenal di Cina. Di dalam bahasa Indonesia, Thay San berarti Gunung Agung yang menjadi gunung terkenal di Bali.
Leo beranggapan bahwa bisnis Firma Thay San Kongsie tetap utamanya menjual rokok, meski turut menjual produk lainnya seperti alat tulis dan buku. Namun beda halnya dengan Denys Lombard yang beranggapan Firma Thay San Konsie sejak awal telah berfokus pada industri perbukuan. Hal ini melihat pasar perdagangan buku Barat telah terputus tiga tahun lamanya terhitung sejak tahun 1945 hingga 1948.
Bisnis perbukuan tersebut didukung atas bantuan Lie Thay San yang merupakan saudara ipar dari Tjio. Bantuan tersebut berupa dukungan sebagai pemasok stok pertama di sebuah toko buku di Pasar Baru. Bantuan lainnya mereka juga telah mendapatkan dua tempat penjualan satu di jalan Kramat Bunder dan satu lagi berada di Jalan Kwitang nomor 13, berdekatan dengan pusat pertokoan Senen.
Lahirnya Gunung Agung
Memasuki tahun 1953, kerja sama pebisnis yang tergabung dalam firma Thay San Kongsie tak lagi utuh. Lie Thay San berpisah secara baik-baik dari bisnis tersebut. Setelahnya kemudian The Kie Hoat dan TjioWie Tay memutuskan menjalankan kerja sama dengan mendirikan nama perusahaan baru dengan nama P.T Gunung Agung.
Strategi PT Gunung Agung terbilang lebih sukses dari sebelumnya lantaran menggandeng tokoh bumiputera lain seperti Darsjaf Rahman, wartawan, Sumanang, mantan bankir, Sudiro, mantan gubernur Jakarta, serta H.A. Notosoetardjo, ketua Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI).
Beberapa tokoh tersebut berguna untuk melindungi PT Gunung Agung ketika ada kampanye anti-Tionghoa dan juga memperkuat posisi perusahaan dari perusahaan saingannya.
Tak lama kemudian bisnis perusahaannya membesar dan merambah menjadi percetakan buku. Tak heran kemudian pada 1954 jika PT Gunung Agung berhasil menyelenggarakan pameran dengan judul “Pekan Buku indonesia” di Gedung Pertemuan Kotapradja (Decapark) di Jakarta berlangsung sejak 8 hingga 14 September. Pameran perbukuan tersebut sukses menggambarkan penerbitan berbagai buku dan majalah yang dimiliki oleh Republik Indonesia sejak tahun 1945.
“Buku-buku yang dipamerkan itu jumlahnya kira-kira ada 10.000 dan mengenai beberapa macam ilmu, seperti ilmu tentang teknik, pertanian, politik, sosial, kebudayaan, falsafah, agama, epndidikan dllm hingga buku untuk dan tentang kanak-kanak” tulis Majalah Mimbar Penerangan Tahun ke Lima No.9
Pengagum Soekarno
Menurut Leo Suryadinata, ketenaran pameran buku tersebut bahkan turut dihadiri oleh Presiden Soekarno. Hal ini tak mengherankan sebab, Tjio merupakan pengagum Soekarno. Soekarno sendiri juga telah memperhatikan kejayaan PT Gunung Agung bahkan memberikan perintah khusus membuatkan ensiklopedia dengan periode pendek digunakan di area kepresidenan.
Selain itu, pada periode tahun 1960an, PT Mas Agung juga menulis berbagai publikasi tentang Soekarno dan tulisan-tulisannya. Ketertarikan terhadap Soekarno, tak mengherankan jika pada 1962, Tjio juga mendukung Pemerintah Indonesia mendistribusikan buku gratis dan peralatan tulis ke Irian Barat. Bahkan untuk usaha tersebut, Tjio tak segan tinggal di Irian Barat.
Setelah sekian tahun berbisnis, pada 26 Agustus 1963 memutuskan menganti namanya menjadi Masagung. Leo Suryadinata mencatat, berdasarkan pendapat H.A.Notosoetardjo penggantian nama Tjio menjadi Masagung, disarankan oleh Soekarno.
Saat Presiden Soekarno dilengserkan dari kekuasaan pada tahun 1966, Masagung tetap setia mendukung Soekarno. Ia bahkan mendirikan Yayasan Idayu, yang diambil dari ibu Soekarno yang berasal dari Bali.
Yayasan tersebut direncanakan berfungsi sebagai pusat dokumentasi mengenai Indonesia kontemporer, terkhusus pemikiran bapak bangsa. Lantaran hubungan Masagung yang menjadi orang terakhir yang dapat mendekati Soekarno semasa hayatnya. Bahkan menurut Masagung saat itu ia telah menerima sekumpulan surat pribadi Soekarno yang penting dan telah ia simpan.
Pada September 1976, Masagung memutuskan menjadi mualaf dan masuk Islam. Setelah masuk Islam ia turut aktif mempromosikan berbagai publikasi buku bernuansa Islam.
Sekitar tahun 1982, Masagung kemudian dikenal sebagai pebisnis yang sukses dengan menjabat sebagai pucuk pimpnan di sembilan perushaaan. Bisnisnya kemudian tak hanya penerbitan dan toko buku Gunung Agung, Sari Agung, Inti Idayu Press dan Gunung Agung Singapore.
Selain itu juga ada hotel di antaranya Jaya Mandarin Agung, money changer Ayumas Gunung Agung, manajemen Ayumas Agung serta distributor produk Kodak dan komputer Honneywell Bull.
Memasuki tahun 1986 setelah isterinya meninggal dunia, Masagung memutuskan mengundurkan diri dari bebragia posisi di PT Gunung Agung dan menyerahkan bisnis tersebut ke anaknya. Empat tahun kemudian, tepatnya pada September 1990 Mas Agung meninggal ketika usianya 60 tahun.
Masa Kecil dikenal Badung
Menurut Leo Suryadinata, Masagung yang saat itu dikenal sebagai Tjio lahir pada 8 September 1927 sebagai keluarga Tionghoa peranakan. Tjio terlahir sebagai anak keempat dari lima bersaudara. Ibu Tjio bernama Tjoa Poppi dan ayahnya bernama Tjio Koan An bekerja sebagai insinyur di bidang listrik di sebuah pereusaah gas elektronik.
Saat Tjio berusia empat tahun, ia harus kehilangan ayahnya lantaran meninggal dunia secara mendadak. Hal ini kemudian membuat Tjoa Poppi, terpaksa menjadi satu-satunya tulang punggung keluarga.
Dengan kehidupan yang sulit, Tjoa Poppi terpaksa menitipkan beberapa anaknya ke kerabatnya untuk disekolahkan. Tjio kecil saat itu hanya mengenyam pendidikan sebentar di Jakarta, sebelum kemudian pindah ke Sekolah Belanda Cina Zending (HCZS) di Bandung lantaran tinggal bersama pamannya.
Tjio kecil saat bersekolah terkenal badungnya sehingga ia dua kali dikeluarkan dari sekolah. Tidaklah jelas di kelas berapa Tjio dikeluarkan ada yang menyebut dia dikeluarkan di kelas 4, atau 5 dan bahkan ada yang menyebut dia dikeluarkan saat memasuki pendidikan menengah.
Namun yang jelas pada tahun 1940, Tjio telah dikirim oleh pamannya kembali tinggal bersama ibunya di Batavia. Bagaimanapun seperti yang telah dilihat dari riwayat hidup Tjio, kebadungan Tjio kecil tak sekalipun menghambat dirinya kelak saat dewasa menjadi pebisnis besar.