Sistem Ekonomi yang Sekarang Dinilai Belum Memenuhi Amanat Konstitusi

Redaksi
Selasa, 02 Januari 2018 | 12:17 WIB
Foto: Ilustrasi
Foto: Ilustrasi

Jakarta, sinpo.id - Ekonomi yang dibangga-banggakan tetap belum mampu membebaskan rakyat dari jurang kemiskinan. Terbukti, pada bulan Maret 2017 jumlah penduduk miskin (penduduk dengan pengeluaran per kapita per bulan di bawah Garis Kemiskinan) di Indonesia mencapai 27,77 juta orang atau 10,64 persen. Angka itu bertambah sebesar 6,90 ribu orang dibandingkan dengan kondisi September 2016 yang sebesar 27,76 juta orang (10,70 persen). 

Heri Gunawan selaku Anggota Komisi XI beranggapan, akar permasalahannya pada sistem ekonomi yang digunakan Pemerintah selama ini tidak hanya gagal mengentaskan kemiskinan tapi juga memiskinkan. 

"Pemerintah sering bersembunyi di balik statistik yang acuannya sering jadi polemik, sering salah tafsir, dan bahkan menyesatkan. Faktanya, kemiskinan tetap tumbuh subur," papar Politisi Gerindra ini.

Angka ketimpangan juga masih bertengger di kisaran 0,39. Itu adalah angka yang masih berstatus wapada yang berarti sistem ekonomi yang dijalankan selama ini masih belum mampu menciptakan pemerataan secara total. 

"Postur APBN yang terus defisit dari tahun ke tahun masih tak bisa diterjemahkan menjadi kesejahteraan bagi rakyat banyak, kemakmuran untuk semua," tegasnya.

Sebab faktanya, lanjut dia, hanya ada satu persen orang yang menguasai 39 persen pendapatan nasional. Lebih dari itu, tak lebih dari dua persen orang telah menguasai lebih dari 70 persen tanah di republik ini.

"Ekonomi kita tidak dinikmati oleh rakyat banyak. Angka di kuartal III yang mencapai 5,06 persen tak menggenjot daya beli sehingga terjadi penurunan konsumsi rumah tangga dari 4,95 persen menjadi 4,93 persen. Dan itu terjadi signifikan pada kelas masyarakat menengah ke bawah yang proporsinya sebesar 80 persen," katanya.

Tertekannya daya beli itu lalu berimbas pada penurunan kinerja industri ritel yang hanya mampu tumbuh di angka lima persen, industri barang konsumsi kemasan hanya tumbuh 2,7 persen, dan lain-lain. Ini terungkap dalam Survei Nielsen yang disebut-sebut sebagai pertumbuhan paling rendah dalam lima tahun terakhir. 

Survei Nielson tersebut mengungkap bahwa distorsi daya beli tidak terjadi pada masyarakat kelas atas yang jumlahnya tak lebih dari 20 persen. 

"Ini menjadi bukti bahwa sistem ekonomi yang dijalankan sekarang belum memenuhi amanat konstitusi untuk memajukan kesejahteraan umum," pungkasnya.

BERITALAINNYA
BERITATERKINI