Hakim Konstitusi M. Guntur Hamzah Dinilai Langgar Etik Ubah Putusan
SinPo.id - Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MK) memutus Hakim Konstitusi M. Guntur Hamzah sebagai Hakim Terduga terbukti melakukan pelanggaran terhadap Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi sebagaimana tertuang dalam Sapta Karsa Hutama—dalam hal ini bagian dari penerapan Prinsip Integritas. Atas pelanggaran tersebut, M. Guntur Hamzah dikenakan sanksi teguran tertulis sebagai Hakim Terduga. Demikian Putusan Majelis Kehormatan MK Nomor 1/MKMK/T/02/2023 dibacakan secara langsung oleh Ketua sekaligus Anggota Majelis Kehormatan MK I Dewa Gede Palguna (tokoh masyarakat) dengan didampingi oleh Anggota Majelis Kehormatan MK lainnya, yakni Enny Nurbaningsih (Hakim Konstitusi aktif), dan Sudjito (akademisi). Putusan tersebut dibacakan dalam Sidang Pembacaan Putusan yang berlangsung di Ruang Sidang Panel Gedung 1 MK pada Senin 20 Maret 2023
Dalam kesimpulan yang dibacakan oleh Ketua Majelis Kehormatan MK I Dewa Gede Palguna, Majelis Kehormatan MK menemukan fakta bahwa benar telah terjadi perubahan frasa “Dengan demikian” menjadi “Ke depan” dalam pertimbangan hukum Putusan MK Nomor 103/PUU-XX/2022 bertanggal 23 November 2022. Perubahan tersebut menjadi sebab terjadinya perbedaan antara bunyi naskah putusan yang diucapkan/dibacakan dalam sidang pengucapan putusan tanggal 23 November 2022 dan yang tertera dalam laman Mahkamah Konstitusi yang ditandatangani oleh sembilan orang hakim konstitusi. Perubahan tersebut diakui dilakukan oleh Hakim Konstitusi M. Guntur Hamzah sebagai Hakim Terduga dengan alasan sebagai usul atau saran perubahan terhadap bagian pertimbangan hukum Putusan MK Nomor 103/PUU-XX/2022.
“Bahwa secara hukum, Hakim Terduga berhak melakukan perbuatan dan sudah merupakan kelaziman yang berjalan bertahun-tahun di Mahkamah Konstitusi, sepanjang mendapatkan persetujuan dari hakim lainnya yang ikut memutus, setidak-tidaknya hakim drafter, terlepas dari soal belum adanya prosedur operasi standar (standar operational procedure/SOP) mengenai hal dimaksud,” papar Palguna.
Selanjutnya, Palguna menyampaikan dampak dari perubahan frasa “Dengan demikian” menjadi “Ke depan” dalam Putusan MK Nomor 103/PUU-XX/2022 menyebabkan hilangnya koherensi pertimbangan hukum dalam menegaskan kembali esensi pertimbangan hukum Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 96/PUU-XVIII/2020. Selain itu, ia menegaskan tidak benar terjadi persekongkolan pengubahan risalah Putusan MK Nomor 103/PUU-XX/2022 yang menggantikan frasa “Dengan demikian” menjadi “Ke depan”. Sebab, lanjutnya, yang terjadi sesungguhnya adalah adanya perbedaan cara penyusunan risalah antara penyusunan risalah persidangan biasa yang bukan sidang pengucapan putusan dan cara penyusunan risalah sidang pengucapan putusan.
“Terhadap adanya perbedaan frasa pada bagian pertimbangan hukum Putusan MK Nomor 103/PUU-XX/2022 bertanggal 23 November 2022, antara yang diucapkan/dibacakan dalam sidang pengucapan putusan tanggal 23 November 2022 dan yang tertera di laman Mahkamah Konstitusi serta dalam Salinan putusan yang ditandatangani oleh Sembilan hakim konstitusi, yang berlaku adalah putusan yang diucapkan, yaitu putusan yang pertimbangan hukumnya pada Paragraf [3.13.3] halaman 51 yang memuat frasa ‘Dengan demikian’,” terang Palguna.
Majelis Kehormatan MK juga mengungkapkan sejumlah hal yang memberatkan maupun meringankan Hakim Terduga. Hal-hal yang memberatkan di antaranya perbuatan Hakim Terduga dilakukan dalam suasana ketika publik belum reda dalam memperdebatkan mengenai isu keabsahan pemberhentian Hakim Konstitusi Aswanto dan pengangkatan Hakim Terduga sebagai penggantinya. Sementara itu, bagian dalam pertimbangan hukum Putusan MK Nomor 103/PUU-XX/2022 yang frasanya diubah adalah bagian pertimbangan hukum dengan perdebatan tersebut.
"Sehingga perbuatan yang dilakukan oleh Hakim Terduga di mata publik tidak terhindarkan kalau dipersepsikan sebagai upaya Hakim Terduga untuk menyelamatkan diri dari praduga ketidakabsahan pengangkatannya sebagai hakim konstitusi," ucap Palguna.
Alasan yang memberatkan berikutnya adalah meskipun secara hukum, Hakim Terduga berhak mengajukan usulan perubahan, pertimbangan etik seharusnya mencegah Hakim Terduga melakukan hal tersebut. Sebab, lanjut Palguna, Hakim Terduga tidak ikut memutus Perkara Nomor 103/PUU-XX/2022 tersebut. "Bahkan, saat perkara tersebut diputus, Hakim Terduga belum menjadi hakim konstitusi," imbuhnya.
Hal yang memberatkan lainnya, yakni sebagai hakim baru, Hakim Terduga seharusnya menanyakan terlebih dahulu perihal prosedur yang harus ditempuh manakala hendak mengusulkan perubahan terhadap naskah putusan yang sedang dibacakan. "Terlepas dari soal bahwa praktik demikian hingga saat ini masih berupa kebiasaan kelaziman, namun hal demikian tidak dapat dianggap tiadanya prosedur. Hal itu akan mencegah prasangka negatif terhadap adanya kehendak tak patut dari Hakim Terduga," papar Palguna.
Dalam kesempatan tersebut, Palguna juga menyampaikan hal-hal yang meringankan Hakim Terduga. Salah satu di antaranya perbuatan pengubahan putusan seperti yang dilakukan oleh Hakim Terduga merupakan praktik yang lazim dilakukan di MK sepanjang tidak dilakukan secara diam-diam dan mendapatkan persetujuan dari hakim lainnya, setidaknya hakim drafter.
"Belum adanya SOP untuk praktik yang menjadi kelaziman tersebut sehingga hal itu, suka atau tidak, harus diterima sebagai faktor yang turut mengurangi bobot kesalahan dari perbuatan Hakim Terduga," ujar Palguna.
Kemudian, Majelis Kehormatan menilai lambannya respons MK terhadap dampak perbuatan Hakim Terduga sebagai hal yang meringankan. Hal ini dikarenakan Putusan MK Nomor 103/PUU-XX/2022 yang telah diubah dan dimuat di laman MK telah diketahui oleh beberapa orang hakim dan sejak awal diakui oleh Hakim Terduga.
"Serta telah pula diberitahukan kepada Panitera untuk dibicarakan dalam Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH), namun RPH dimaksud tidak pernah dilaksanakan demgam alasan yang bersifat teknis-psikologis. Andaikata, Mahkamah Konstitusi memberikan respon terhadap peristiwa ini, misalnya dengan melakukan renvoi terhadap frasa yang menjadi sumber masalah dimaksud, Masalah ini tidak menjadi berkepanjangan, majelis kehormatan tidak perlu dibentuk," tegas Palguna.
Majelis kehormatan menegaskan berhaknya Hakim terduga melakukan pengubahan putusan tidak serta-merta perbuatan tersebut dapat dibenarkan secara etik sebagaimana tertuang dalam Sapta Karsa Hutama yang merupakan kode etik dan perilaku hakim konstitusi Republik Indonesia. "Dalam hal ini, Hakim terduga terbukti melakukan pelanggaran prinsip integritas dalam Sapta Karsa Utama," tambah Palguna
Dalam putusannya, Majelis Kehormatan MK juga memberikan sejumlah rekomendasi. Rekomendasi tersebut diantaranya penting bagi Mahkamah Konstitusi untuk membentuk SOP terkait hakim konstitusi ingin mengusulkan pengubahan terhadap putusan yang dibacakan atau diucapkan dalam sidang pengucapan putusan yang terbuka untuk umum. Selain itu, MK juga harus membentuk SOP terkait penyusunan risalah persidangan yang bukan sidang pengucapan putusan maupun risalah persidangan pengucapan putusan.
"Perlu segera dibentuk Majelis Kehormatan MK yang bersifat permanen dengan memberikan perhatian dan pertimbangan secara seksama terhadap kredibilitas dan integritas figur yang diangkat sebagai anggota-anggotanya yang mampu membangun kepercayaan publik terhadap Mahkamah Konstitusi," urai Palguna.
Terkait Putusan Nomor 103/PUU-XX/2022, majelis kehormatan MK rekomendasikan agar majelis hakim konstitusi membuat renvil terhadap putusan tersebut demi kepastian hukum. "Yaitu dengan mengembalikan frasa 'Dengan demikian' ke dalam putusan yang dimaksud," lanjut Palguna.
Rekomendasi terakhir Majelis Kehormatan MK adalah perlunya memberikan pembinaan lebih lanjut terhadap Panitera MK oleh pejabat yang berwenang sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan dengan mempertimbangkan aspek kepatutan dan proporsionalitas.
Untuk diketahui, Sidang Pengucapan Putusan dilakukan oleh Majelis Kehormatan MK merupakan tahap akhir dari proses pemeriksaan atas Temuan dari MKMK mengenai adanya perbedaan antara Putusan MK Nomor 103/PUU-XX/2022 dan Risalah Persidangan yang diunggah ke laman mkri.id dengan Putusan yang dibacakan/diucapkan secara langsung dalam sidang terbuka untuk umum pada tanggal 23 November 2022. Perbedaan tersebut terletak pada paragraf terakhir halaman 51 Putusan MK Nomor 103/PUU-XX/2022 pada frasa “Dengan demikian,…” yang berubah menjadi frasa “Ke depan,…”.
Atas Temuan tersebut, MKMK telah menggelar serangkaian Sidang Pleno untuk Pemeriksaan Pendahuluan, Pemeriksaan Lanjutan, dan Rapat MKMK dengan mendengarkan keterangan dari sejumlah pihak, termasuk keterangan dari sembilan Hakim Konstitusi dan lima orang Ahli. Sidang Pleno dan Rapat MKMK dimaksud berlangsung secara tertutup sejak 9 Februari 2023 hingga 14 Maret 2023.