Mengenang Para Srikandi Tionghoa Pembela Republik Indonesia di Medan Tempur
Sejumlah perempuan Tionghoa turut di medan tempur mempertahankan kedaulatan Republik Indonesia. Mengalahkan rasa trauma hanya karena seorang Tionghoa.
SinPo.id - The Sin Nio perempuan peranakan Tionghoa terjun dalam medan tempur untuk mempertahankan Republik Indonesia. Srikandi Tionghoa patut disematkan pada The Sin Nio yang tercatat pernah terdaftar sebagai Kompi 1 Batalion 4 Resimen 18 dan menjadikannya satu-satunya prajurit perempuan.
“Semasa berjuang, dia hanya bermodalkan senjata golok, bambu runcing, dan tombak,” tulis Hendra Kurniawan dalam Kepingan Narasi Tionghoa Indonesia The Untold Histories.
Tak hanya mahir dalam pertempuran, The Sin Nio juga sempat menjadi perawat atau Palang Merah yang saat itu tak banyak orang. Dari perjuangan tersebut, pada 29 Juli 1976 pemerintah menyematkan The Sin Nio sebagai pejuang yang turut aktif mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia.
Kisah hebat serupa juga dialami oleh Ho Wan Moy atau kerab disapa Amoy. Lisa Soeroso mencatat, sebagaimana dikutip oleh Didi Kwartanada dalam Etnik Tionghoa, Peran Kebangsaan dan Tantangannya, sosok Ho Wan Moy berjuang pada usia 13 tahun.
"Selama revolusi fisik berlangsung Ho Wan Moy bertugas sebagai anggota Palang Merah Indonesia dan Laskar Wanita Indonesia," tulis Lisa Soeroso.
Peran Ho Wan Moy diawali saat menjadi penunjuk jalan bagi para pejuang dari Jakarta menuju ke tempat persembunyian yang berada di di pegunungan Banjar. Belakangan kemudian ia lantas juga belajar merawat para pejuang yang terluka.
Amoy juga berperan dalam membantu persediaan logistik para pejuang dan bahkan merangkap sebagai mata-mata. Untuk membeli persediaan logistik, setiap dua hari sekali Amoy harus menempuh perjalanan sekitar 20 kilometer dengan melewati medan gunung yang terjal.
Perjalanan tersebut ia tempuh dengan berjalan kaki. Semula persediaan logistik tersebut berasal dari gudang beras dan singkong milik ibu dan neneknya yang secara ikhlas disumbangkan.
Setelah persediaan tersebut habis, kemudian Amoy secara sembunyi-sembunyi membeli logsitik ke kota. Resikonya tak mudah yakni ditangkap oleh tentara Belanda.
Keberanian itu membuat teman-teman veteran Amoy mengakui sebagai perempuan yang turut melahirkan Indonesia dengan darah dan air mata. “Dia adalah Srikandi Indonesia,” kenangnya
Melawan Trauma Rasisme
Keberanian Amoy tak terlepas dari keberhasilan dalam mengalahkan rasa traumanya yang dirasakan saat kecil. Saat itu, Ho Wan Moy kecil pernah ketakutan karena seorang laki-laki datang kepadanya dan mengancam untuk membunuhnya hanya karena ia seorang Tionghoa.
Traumanya hilang dan digantikan dengan keberanian ketika keluarga Ho Wan Moy kedatangan rombongan pejuang yang mengungsi dari Jakarta dibawah pimpinan Herman Sarens Soediro.
Selama kunjungan singkat tersebut, Herman sempat memberikan pesan kepada Ho Wan Moy kecil. “Kamu tidak boleh takut. Walaupun kamu perempuan dan Tionghoa, kamu harus berani,” tulis Ho Wan Moy.
Dari situlah kemudian trauma Ho Wan Moy justru berganti dengan keberanian luar biasa dalam membantu para pejuang Republik Indonesia. Hasil keberanian dan peran Amoy mendapat perhatian dari pemerintah Indonesia sehingga ia dianugerahi sebagai Bintang Gerilya dan Bintang Veteran.