Peran Tionghoa dalam Serangan Umum 1 Maret 1949 Bantu Pangan dan Nyatakan Sikap Pro Republik Indonesia
SinPo.id - Setiap 1 Maret, Indonesia memperingati peristiwa bersejarah Serangan Umum 1 Maret 1949 di Yogyakarta. Serangan yang berlangsung selama enam jam lamanya bertujuan membuktikan kepada dunia bahwa eksistensi Indonesia masih ada dan Tentara Nasional Indonesia (TNI) masih memiliki kekuatan.
Hal ini tak terlepas sejak Agresi Militer Belanda II yang berlangsung sejak 19-20 Desember 1948, pusat pemerintahan Indonesia yang berada di Yogyakarta diduduki tentara Belanda (NICA).
Selama masa pendudukan tersebut, sejarah mencatat masyarakat Tionghoa meski tak aktif secara langsung di medan pertempuran, namun mereka memainkan perannya secara aktif dalam menyediakan pangan untuk penduduk.
Sri Endang Sumiyati, Tataq Chimad, Budi Hartono dalam Pelurusan Sejarah Serangan Oemoem 1 Maret 1949 menulis setidaknya tiga tokoh Tionghoa yakni Tjoe Kiat, Soe Gin dan Jong Tjwan yang berperan penting membantu penduduk di saat Belanda menduduki Yogyakarta.
Dari bantuan ketiganya bantuan pangan berhasil teratasi. Tempat bantuan pangan tersebut jugalah yang kemudian sempat didatangi pasukan baret hijau di Tukangan yang sempat kaget mendapati banyak makanan tersedia di sana.
“Rumah bagian belakang dijadikan markas para pejuang. Mereka aktif ronda dan memberi jaminan (logistik),” tulisnya.
Nama lain yang patut dicatat ialah Mr. Ko Siok Hie.
Menurut Arum Kusuma Wardhani dalam Jurnal yang berjudul Nasionalisme Tionghoa dan Peranannya dalam Perang Kemerdekaan Indonesia di Yogyakarta 1945-1949, mencatat Mr. Ko Siok Hie ditunjuk oleh dua pejabat Republik yakni Mr. Soemanang dan Mr. Soetopo sebagai knseptur pemberian logistik.
Tujuannya menghimbau kepada komunitas Tionghoa Yogyakarta supaya membantu penyediaan logistik bagi para pemuda pejuang. Mr. Ko Siok Hie lalu berinisiatif membuat makanan tradisional Tionghoa yang tahan lama.
Hal ini kemudian mengarah ke kue keranjang.
“Pertama kali diproduksi sebanyak 10 kuintal kue keranjang. Agen distribusinya adalah anak-anak kecil,” tulisnya.
Peran masyarakat Tionghoa di Yogyakarta dalam membantu perjuangan Republik Indonesia dapat ditilik jauh sebelum Agresi Militer Belanda 2 berlangsung.
Arum Kusamawardhani menulis pada Mei 1946, berdasarkan keterangan Divisi V tentara Republik, bahwa Chung Hua Tsung Hui (CHTH) bersama 4 orang pengusaha Tionghoa memberikan sumbangan finansial sebesar 400.000 gulden.
Bantuan tersebut langsung kemudian dibagi secara merata kepada Fonds Perjuangan, seksi Sosial Fonds Masjumi, Pemondokan Kaum Buruh dan Partai Buruh Indonesia.
Begitupula ketika situasi Indonesia tengah digempur oleh pasukan NICA yang melakukan Agresi Militer Pertama, CHTH Yogyakarta langsung memimpin kampanye pengumpulan dana untuk Pemerintah Republik.
Selain itu, pada tanggal 3 Agustus 1947 ada juga pernyataan sikap dari Gabungan Pemuda Tionghoa mengadakan rapat yang diadakan di Yogyakarta. Dari rapat tersebut setidaknya menghasilkan empat resolusi.
Mulai dari berdiri di belakang pemerintah Republik, kemudian turut mempertahankan negara, serta masuk Badan Kongres RI dan Dewan Pimpinan Pemuda, kemudian yang terakhir melakukan usaha sosial dengan membentuk pos Palang Merah Indonesia (PMI).
Gambaran jelas sikap pro-republik juga tercermin pada tokoh Tionghoa lainnya yakni diplomat Tjoa Sek In. Ia harus ditahan di penjara Ambarawa saat Agresi Militer Belanda Kedua di Yogyakarta.
Saat dipenjara itulah ia juga tak segan membentak sipir yang berkebangsaan Indonesia justru berpihak kepada Belanda.
“Kamu itu orang Jawa kok ikut Belanda, sedangkan saya saja orang Cina ikut membela tanah Jawa,” kenang Tjoa Sek In sebagaimana dikutip oleh Sri Endang Sumiyati, Tataq Chimad, Budi Hartono.