Membongkar Kembali Sistem Pemilihan Wakil Rakyat

Laporan: Tim Redaksi
Sabtu, 07 Januari 2023 | 07:00 WIB
Ilustrasi (SinPo.id/Wawan Wiguna)
Ilustrasi (SinPo.id/Wawan Wiguna)

Kalau sistem tertutup rakyat tidak tahu siapa yang mereka pilih,”Analis Komunikasi Politik Universitas Multimedia Nusantara, Silvanus Alvin.

“Menjadikan para calon akhirnya rela berutang atau bahkan menggadaikan rumah dan barang-barang berharga lainnya demi kemenangan," Pakar Hukum Tata Negara Universitas Udayana, Jimmy Z Usfunan

SinPo.id -  Sejumlah warga mengajukan gugatan uji materi atau judicial review ke Mahkamah Konstitusi atau MK, terkait sistem pemilihan umum legislatif proporsional terbuka agar dikembalikan ke sistem tetutup.

Para penggugat menilai sistem proporsional terbuka yang berlaku saat ini bertentangan dengan UUD 1945, yakni pasal 1 ayat 1, pasal 18 ayat 3, pasal 18 ayat 1, pasal 22E ayat 3, dan pasal 28 D ayat 1.

“Menyatakan frase ‘terbuka’ pada pasal 168 ayat 2 UU Pemilu bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,” tulis pihak pemohon dilansir dari website Mahkamah Konstitusi.

Tercatat ada enam orang pemohon, dua di antaranya kader partai politik atau Parpol dan tiga warga non-Parpol. Mereka Demas Brian Wicaksono pengurus PDIP Cabang Probolinggo, Yuwono Pintadi anggota Partai NasDem, Fahrurrozi  bakal caleg pemilu 2024 dan Ibnu Rachman Jaya, Riyanto, Nono Marijono, masing-masing Jakarta, Pekalongan dan Depok.

Kuasa hukum pemohon, Sururudin mengatakan sengaja mengajukan uji materiil terhadap undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, agar sistem pemilihan umum dengan proporsional tertutup atau hanya mencoblos partai politik. 

"Adanya sistem proporsional terbuka didasarkan pada Putusan MK Nomor 22-24/PUU-VI/2008 tanggal 23 Desember 2008. Putusan tersebut diambil menggunakan standar ganda, yakni nomor urut dan suara terbanyak sehingga Mahkamah memutuskan mengabulkan pasal a quo,” kata Sururudin.

Ia mengacu sejarah Pemilu di Indonesia sebelum UU Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum menggunakan proporsional tertutup. “Pemilih hanya memilih partai politik karena sejatinya berdasarkan UUD 1945 kontestan Pemilu legislatif adalah partai politik,"kata Sururudin menjelaskan.

Dalam sistem itu, partai politik menunjuk anggotanya untuk duduk di DPR dan DPRD Provinsi, maupun Kabupaten dan Kota. Sururudin menyebut sistem Pemilu yang memilih calon legislatif secara langsung hanya menjual diri calon bermodal populer tanpa ikatan ideologis dengan partai. Calon tersebut juga tidak punya pengalaman organisasi partai politik atau organisasi sosial politik.

Ketika terpilih menjadi anggota DPR atau DPRD, kata Sururudin, calon legislatif tidak mewakili organisasi partai politik, tetapi mewakili diri sendiri.  Hal itu menjadi alasan dia harus ada otoritas kepartaian yang menentukan siapa yang layak menjadi wakil partai di parlemen setelah melalui proses pendidikan, kaderisasi dan pembinaan ideologi partai.

Alasan lain pemohon, melalui sistem pemilihan calon legislatif secara langsung, menimbulkan individualisme para politisi yang mengakibatkan konflik internal dan kanibalisme di internal partai politik.

Sistem proporsional terbuka dinilai melahirkan liberalisme politik dan persaingan bebas dengan menempatkan kemenangan individual dalam Pemilu. Pemohon menyebut persaingan itu harusnya terjadi antar partai politik, karena sesuai UUD 1946 Pasal 22E ayat (3) peserta pemilu adalah partai politik.

"Sistem pemilu proporsional berbasis suara terbanyak akan melemahkan pelembagaan sistem kepartaian,” katanya.

Pemilihan calon legislatif secara langsung juga membuat Pemilu berbiaya mahal. Persaingan antar calon legislatif menjadi tidak sehat karena mendorong kecurangan berupa politik uang kepada penyelenggara.

Selain itu, sistem proporsional terbuka juga memakan biaya mahal dari anggaran negara, karena harus mencetak lebih untuk caleg anggota DPR, DPRD Provinsi hingga DPRD Kabupaten dan Kota.

Dalam gugatan ini, pemohon meminta MK menyatakan frasa terbuka pada Pasal 168 ayat (2) UU Pemilu bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat.

Mayoritas Partai Parlemen Menolak Sistem Proporsional Tertutup

Mayoritas partai politik di perwakilan rakyat menolak sistem proporsional tertutup untuk Pemilu 2024. Tercatat, hanya PDI Perjuangan (PDIP) yang mendukung sistem itu diterapkan pada konstestasi politik lima tahunan tersebut.

Penolakan disampaikan dalam surat yang ditandatangani pimpinan dari kedelapan fraksi tersebut, yakni fraksi Partai Golkar, Partai Gerindra, Partai NasDem, dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Selain itu Partai Demokrat, Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Amanat Nasional (PAN), dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP).

"Kami akan terus mengawal pertumbuhan demokrasi Indonesia tetap ke arah yang lebih maju," mengutip surat pernyataan sikap kedelapan fraksi DPR RI, Selasa, 3 Januari 2023.

Delapan fraksi juga meminta Mahkamah Konstitusi (MK) konsisten pada putusan MK Nomor 22-24/PUU-VI/2008 pada 23 Desember 2008, dengan mempertahankan Pasal 168 ayat 2 UU Nomor 7 Tahun 2017. MK harus menolak judicial review sistem proporsional tertutup.

"Ini sebagai wujud ikut menjaga kemajuan demokrasi Indonesia," tulis surat itu lebih lanjut.

Seluruh fraksi penolak sistem proporsional tertutup mengingatkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk bekerja sesuai amanat undang-undang. Terpenting, tetap independent, tidak mewakili kepentingan siapa pun, kecuali kepentingan rakyat, bangsa, dan negara.

Pada surat pernyataan itu juga mengingatkan kembali jika DPR RI terus memyempurnakan sistem Pemilu yang mendekatkan rakyat dengan pilihan orisinalitasnya. Apalagi, Indonesia merupakan negara yang menganut sistem pemilihan langsung, terutama dalam pemilihan presiden (Pilpres) dan kepala daerah.

"Oleh karena itu, kemajuan demokrasi kita pada titik tersebut harus kita pertahankan dan malah harus kita kembangkan ke arah yang lebih maju, dan jangan kita biarkan setback, kembali mundur," kutip surat pernyatan itu.

Bahkan Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad menyarankan agar kader partai politik di Parlemen turun gunung menggaungkan penerapan sistem proporsional terbuka. Ia minta seluruh fraksi yang menolak sistem proporsional terutup harus kompak.

"Ya saya pikir partai-partai yang ada di DPR yang tetap ingin proposional terbuka itu kemudian bisa turun dalam menyampaikan pendapat di DPR di sidang MK," kata Dasco.

Menurut Dasco, dalam sidang di MK nanti, DPR akan dimintai pendapat terkait judicial review sistem proporsional tertutup. Sehingga, seluruh pandangan fraksi di Parlemen bisa tersalurkan dengan baik.

"Itu kan ada pendapat DPR, pendapat pemerintah, nah nanti pendapat DPR itu bisa kemudian dari fraksi-fraksi dapat disampaikan dalam sidang MK," kata Dasco menegaskan.

Beda Analisa Akademisi

Gugatan sistem pemilu agar dikembalikan sistem tertutup mendapat penilian dari Pakar Hukum Tata Negara Universitas Udayana, Jimmy Z Usfunan, yang menyebut sistem proporsional terbuka dalam Pemilu calon legislatif (Caleg) menimbulkan beberapa persoalan yang memicu keresahan sosial di masyarakat.

Keresahan tersebut lantaran tingginya surat suara tidak sah. Bahkan pada 2019, tercatat 17.503.953 suara tidak sah untuk Pemilu DPR.

"Dengan fenomena ini maka akan memunculkan sikap apatisme masyarakat nantinya dalam memilih pada Pemilu 2024 yang akan datang, karena khawatir sudah menggunakan hak pilih, namun suaranya menjadi suara yang terbuang," kata Jimmy.

Tak hanya itu, dia menyebut ketegangan kompetisi antarkader satu partai bakal semakin panas mengingat modal yang dikeluarkan masing-masing caleg cukup besar. Jimmy mencontohkan pada Pemilu 2019, adanya penganiayaan terhadap sesama calon partai, dalam pemilihan anggota DPR RI satu dapil di Provinsi Jawa Timur. Begitu juga penganiayaan caleg di Kabupaten Tanah Bumbu, yang juga satu partai.

“Bayangkan saja, jika konflik itu melibatkan para pendukung, bukankah akan menimbulkan konflik sosial yang besar di masyarakat? Sementara saat ini, Indonesia memiliki 514 kabupaten kota dan 38 Provinsi, tentunya ini bisa jadi masalah besar nantinya," kata Jimmy menjelaskan.

Keresahan sosial lainnya akibat sistem proporsional terbuka ini, yaitu banyak lagi calon legislatif yang gagal mengalami depresi, gangguan jiwa, bahkan bunuh diri seperti yang terjadi pada 2019.

Besarnya modal yang digunakan, dengan asumsi yang besar menjadi pemenang, sementara Caleg yang lain juga berani beradu modal, akibatnya cost politic menjadi semakin besar

“Menjadikan para calon akhirnya rela berutang atau bahkan menggadaikan rumah dan barang-barang berharga lainnya demi kemenangan," kata Jimmy.

Jimmy berpendapat sistem proporsional terbuka membuat pemilih kebingungan dalam melakukan pencoblosan. Sebab, ada lima surat suara dalam waktu yang bersamaan harus dicoblos, yakni surat suara presiden dan wakil presiden, surat suara anggota DPR, surat suara anggota DPD, surat suara anggota DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota.

Belum lagi masing-masing surat suara calon DPR atau DPRD di Provinsi Kabupaten dan Kota berisikan nama-nama calon yang banyak.  Akhirnya pemilih tidak menggunakan rasionalitasnya dalam memilih.

“Akhirnya melihat pada foto atau karena popular, serta tidak mungkin jika pemilih nantinya bertindak yang mengakibatkan surat suara itu tidak sah,” katanya.

Analis Komunikasi Politik dari universitas multimedia nusantara (UMN), Silvanus Alvin, menilai sistem proporsional tertutup disebut kurang layak diterapkan pada Pemilu 2024. Sebab, sistem ini tidak memberi ruang kepada publik untuk memilih calon wakilnya di Parlemen.

Padahal, sistem yang sudah berjalan sekarang saja, yakni proporsional terbuka masih membuat gap antara pemilih dan yang dipilih. Bahkan, tak sedikit masyarakat yang kurang mengenal wakil rakyat yang mereka pilih.

"Saya kurang setuju dengan pandangan proporsional tertutup. Kalau tertutup rakyat jadi tidak tahu siapa yang mereka pilih,” kata Silvanus Alvin.

Ketika memilih orang yang dikenal, kata dia, maka rakyat tahu ke mana dia harus menagih janji wakilnya. Alvin menilai sistem proporsional terbuka juga memberi dampak positif bagi partai politik.

"Bahwa partai mengkader dan mendukung tokoh yang terpilih itu," kata  Silvanus menjelaskan.

Ia menilai sistem proporsional tertutup dimungkinkan jika tingkat kepercayaan publik terhadap parpol sudah tinggi. Sehingga, rakyat betul-betul merasa tenang ketika partai terpilih menugaskan kader tertentu menjabat.

Meski ia mengamini masih ada pekerjaan rumah yang harus dibenahi dari sistem proporsional terbuka. Salah satunya, gagasan membuat super-apps yang dapat memberi rating anggota dewan dari tingkat nasional ke daerah.

Menurut dia, rating yang diberikan itu akan jadi basis data untuk pertimbangan rakyat di Pemilu selanjutnya. Bila kinerja buruk, maka rakyat diharap tak segan memberi rating 1 dari 5 bintang.

"Jadi kita bisa adopsi skema digital di layanan daring ke ranah politik. Hal ini tentunya berimplikasi pada peningkatan keterlibatan publik untuk memantau anggota dewan yang mereka pilih," katanya.

BERITALAINNYA
BERITATERKINI