DPD dan MPR Bicara Amandemen, Pengamat: Itu Wilayah Mereka
SinPo.id - Pernyataan Ketua MPR RI Bambang Soesatyo (Bamsoet) dan Ketua DPD LaNyalla Mahmud Mattaliti terkait Pemilu 2024 dianggap hal wajar. Publik dinilai tak perlu mempersoalkan pernyataan itu mengingat keduanya berada di institusi yang diberikan wewenang mengubah konstitusi.
“Apa pun yang dikatakan oleh Pak LaNyalla, apa pun yang disampaikan oleh Pak Bamsoet, beliau-beliau ini berada di dalam institusi yang memang diberikan wewenang untuk melakukan perubahan konstitusi itu. Semua pembicaraan menurut saya, harus dikembalikan kepada aturan yang ada dan siapa yang berbicara,” kata Direktur Eksekutif Indo Barometer M Qodari di Jakarta, Selasa, 13 Desember 2022.
Menurut dia, ada dua cara yang bisa diambil untuk mengubah konstitusi, yakni amandemen dan dekrit presiden. Qodari sendiri lebih memilih amandemen daripada dekrit.
Sebab, dekrit pernah terjadi di masa Presiden Abdurahman Wahid (Gus Dur). Gus Dur saat itu mengeluarkan dekrit presiden yang menimbulkan angin panas serta ketidakpastian politik.
"Permintaan dekrit itu angin panas. Saya sebut itu angin panas karena berisiko, unpredictable, karena kita punya pengalaman bahwa seorang yang bernama Gus Dur misalnya, begitu mengeluarkan dekrit menimbulkan ketidakpastian politik," kata dia.
Qodari mengatakan Ketua MPR RI dan DPD RI berhak berbicara terkait perubahan konstitusi sesuai dengan kewenangannya. MPR dapat melakukan evaluasi dan perubahan terhadap UUD sesuai dengan kebutuhan zaman.
“Mereka berhak ngomong, bahkan lebih dari berhak untuk menyampaikan apa yang mereka sampaikan. Bayangkan pernyataan seperti ini disampaikan oleh Amien Rais misalnya, atau anggota DPD RI atau MPR RI pada tahun 1998-1999, ketika mereka sedang menyiapkan perubahan konstitusi. Apakah semua orang setuju dengan rencana perubahan yang akan mereka lakukan? Tidak,” jelasnya.
“Bahkan sampai hari ini pun banyak yang enggak setuju, misal Pak Tri Sutrisno dan para Purnawirawan TNI semuanya enggak setuju dengan perubahan yang terjadi saat itu,” timpal Qodari.
Qodari menyampaikan pasal-pasal yang terdapat dalam UUD dapat diubah sesuai dengan Pasal 37 UUD 1945 yang secara umum membahas tentang perubahan UUD kecuali pasal yang mengatur tentang bentuk negara.
“Yang tidak boleh diamandemen itu hanya bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia, berarti itu semua bisa diubah itu saja, menyesuaikan dengan pemikiran yang berkembang di saat itu. Jangan lupa bahwa konstitusi itu adalah cermin dari suatu zaman dan kondisi,” kata dia.
Dia mengaku mendukung terjadinya perubahan konstitusi lewat jalur amandemen. Dia bahkan setuju jika Presiden Jokowi menjabat selama 3 periode.
“Kalau saya itu kan konsepnya perubahan konstitusi itu lewat jalur amandemen. Nah mengubah konstitusi itu secara garis besar ada dua macam ada amandemen ada dekrit. Kalau amandemen yang melakukan perubahan menurut konstitusi kita itu adalah MPR yang terdiri dari DPR dan DPD,” kata dia.
Qodari menilai perubahan amandemen UUD 1945 tak lepas dari stabilitas politik di 2024 yang berpotensi terjadinya polarisasi ekstrem di tengah masyarakat. Kelompok politik identitas diyakini akan memainkan hal tersebut untuk menimbulkan kekacauan.
“Saya pernah bilang berkali-kali bahwa kita berhadapan dengan situasi khusus di mana pada tahun 2024 yang akan datang itu akan terjadi polarisasi ekstrem, di mana kelompok identitas akan menggunakan pemilu agar mereka kembali dalam arena pusat pemerintahan untuk eksistensi mereka dan itu akan menggunakan stempel calon islam kepada siapa pun calon yang akan maju nanti,” kata dia.
Qodari melihat tren yang terjadi baik pada 2014, 2017 saat Pilkada Jakarta, kemudian 2019. Lalu, kekerasan yang terjadi karena media sosial, misalnya Ade Armando. Dia menilai hal itu mengarah kepada satu titik, yakni Pemilu 2024.
Dari analisa situasi politik yang ada, kata dia, Jokowi bisa menjadi titik temu untuk semua kandidat melawan kotak kosong.
"Pilpres tetap ada, tetapi calon tunggal berhadapan dengan kotak kosong. Pada hari ini saya lihat yang bisa menjadi titik temu semua kandidat tersebut adalah Jokowi melawan kotak kosong, karena kotak kosong tidak akan ditempel islam,” tegasnya.
Sementara itu, Wakil Ketua DPD RI Sultan B Nadjamuddin menilai wacana amandemen UUD 1945 atau perpanjangan masa jabatan presiden yang disampaikan Ketua DPD RI LaNyalla Matalitti bukan sesuatu yang buruk. Namun, dia memastikan pernyataan tersebut keluar dari pribadi Ketua DPD RI dan hal tersebut wajar sebagai wakil rakyat daerah.
“Terkait dengan yang tadi disampaikan bahwa ada statement yang memang sensitif, kemudian menjadi pokok bahasan yang sangat luas beberapa minggu, ini momentum bagi saya sampaikan bahwa penundaan pemilu itu sama sekali bukan dari lembaga, kita belum pernah dibahas, jadi itu lebih kepada segmen wacana pribadinya ketua (LaNyalla),” kata Sutan.
Meski begitu, Sultan mengakui ada ide dari DPD RI untuk mengkaji ulang konstitusi negara, yakni kembali pada UUD 1945 tetapi wacana tersebut belum dilaksanakan oleh lembaga. Sehingga, isu yang berkembang di publik terkait dengan perpanjangan masa jabatan presiden lebih kepada pendapat pribadi LaNyalla.
“Ada ide atau gagasan lembaga untuk mengkaji ulang konsitusi. Terakhir kemarin itu yang kita diskusikan untuk melihat kemungkinan apakah kembali ke UUD 1945 dan wacananya itu ada. Tapi masih jauh dari pengambilan keputusan, artinya bukan sebuah putusan lembaga,” ujarnya.

