Hari Toleransi, Kisah Persahabatan Tionghoa dan Arab Membentuk Nasionalisme Indonesia
SinPo.id - Tanggal 16 November diperingati sebagai hari toleransi internasional. Peringatan hari toleransi mengingatkan persahabatan dua tokoh lintas kultur Tionghoa dan Arab membentuk Nasionalisme Indonesia.
Hal ini terlihat dalam hubungan persehabatan yang erat dari Liem Koen Hian dan Kwee Kweet Tiang yang mewakili etnis Tionghoa dengan Abdul Rahman Baswedan, kakek dari mantan Gubernur DKI Anies Baswedan yang mewakili etnis Arab.
Kisah persahabatan tersebut berasal dari kejadian tak terduga pada pada bulan Juni 1932, saat Abdul Rahman Baswedan selepas dari Kudus berkunjung ke Surabaya untuk menonton pertandingan sepakbola di lapangan sepakbola Pasar Turi.
Secara kebetulan Baswedan bertemu dan berkenalan dengan Liem Koen Hian, pemimpin redaksi surat kabar Sin Tit Po. Setelah perkenalan yang singkat, Liem Koen Hian tanpa basa-basi langsung menawarkan Baswedan untuk menjadi wartawan bagi surat kabarnya.
“Tuan Baswedan baik tulis-menulislah buat Sin Tit Po. Sin Tit Po sekarang bukan surat kabar Tionghoa, tetapi surat kabar bangsa berwarna yang di dalamnya juga termasuk golongan Arab,” ucap Koen Hian, seperti ditulis Baswedan dalam tulisan yang dimuat pada surat kabar Sin Tit Po, 2 Desember 1939, yang dikutip oleh Lukman Hakiem dalam A.R. Baswedan: Saya Muslim Saya Nasionalis.
Baswedan merespon permintaan Koen Hian secara positif. Namun, ia menolak untuk menjadi wartawan lepas sebab ia ingin belajar jurnalistik dari dekat dan alasan lainnya karena soal upah wartawan lepas yang tak besar.
Alasan itu yang membuat Baswedan meminta kepada Koen Hian agar menjadi bagian dari redaksi Sin Tit Po. Koen Hian pun mafhum dan menyetujui permintaan Baswedan .
Tak butuh waktu lama, keesokan harinya Baswedan langsung bekerja untuk Sin Tit Po. Di tempat kerja barunya Baswedan berkenalan dengan Direktur Sin Tit Po, Tan Ping Lee dan teman satu redaksinya Kwee Thiam Tjing, Tjoa Tjie Liang, serta J. D. Syaranamual.
Di tempat kerja barunya, menurut Sutamin dalam Abdul Rahman Baswedan: Karya dan Pengabdiannya, Baswedan diberikan tepat tersendiri untuk mengisi pojok Abu Nawas.
“Dan saya yang waktu itu seorang serdadu juga dari parti Al-Irsyad selalu gatal mau menyerang partai Al-Rabithah, khususnya yang diwakilkan oleh Sayyid Alwie Aldjoefrie,” tulis Baswedan.
Setelah beberapa waktu bekerja, Baswedan paham betul betapa kerasnya idealisme Koen Hian dalam mewujudkan semangat persatuan bangsa yang tak kenal perbedaan warna kulit. Sejarawan Huub de Jonge dalam Mencari Identitas: Orang Arab Hadhrami di Indonesia (1900-1950), menulis dari Liem kemudian Baswedan belajar tentang hubungan antara totok dan peranakan arab Hadhrami.
"Baswedan menyadari bahwa orang Hadhrami yang lahir di Hindia lebih dekat dengan Indoesia daripada dengan warga Yaman Selatan," tulis Huub de Jonge.
Selama berada pada pimpinan redaksi Koen Hian, Sin Tit Po cenderung mendorong gerakan nasional. Dari situ Sin Tit Po lantas kerap mendapat banyak kiriman tulisan dari tokoh nasional Sayangnya haluan kenekatan isi pemberitaan Sin Tit Po membuat importir perusahaan Belanda di bawah The Big Five mengirimkan peringatan kepada Tan Ping Lee untuk mengubah haluan Sin Tit Po apabila iklan dan kontraknya mau dilanjutkan.
Paham akan situasi yang mengancam surat kabarnya, Tan Ping Lee lantas memperingatkan Koen Hian. “Koh Koen Hian, Koh pikir bagaimana kita ? Iklan-iklan (dari toko impor Eropa) nanti sama lepas karena Sikap Sin Tit Po punya!,” ucap Koh Ping Lee sebagaimana ditulis Baswedan.
Peringatan tersebut membuat Koen Hian mengadakan pembicaraan dengan kawannya sesama redaksi. Dari pembicaraan tersebut diambil sikap tegas menolak permintaan The Big Five sekaligus tak ingin semuanya meninggalkan idelaismenya.
Alhasil semua anggota redaksi memutuskan keluar dari Sin Tit Po. Mereka keluar secara bergantian dimulai dari Koen Hian, disusul pada Januari 1933 oleh Baswedan dan kemudian diikuti oleh pengurus redaksi lainnya.
Setelah dari Sin Tit Po, Baswedan lantas bekerja sebagai wartawan di Soera Oemoem, yang direkturnya dijabat oleh Dokter Soetomo. Di tempat barunya ia kembali bekerja sesama kawannya eks wartawan Sin Tit Po yakni J.D. Syaranamual yang diangkat sebagai pemipin redaksi dan Tjoa Tjie Lieng.
Menurut Suratmin, Baswedan hanya setahun bekerja di Soera Oemoem dan terpaksa berhenti lantaran sakit yang dideritanya Setelah sembuh, Baswedan kembali bekerja sebagai wartawan, kali ini ia bekerja untuk surat kabar Matahari, surat kabar Tionghoa Melayu yang berlokasi di Semarang dan pendukung gerakan kemerdekaan Indonesia.
Dari situ Baswedan berkenalan dengan direktur Matahari Kwee Hing Tjiat dan bertemu kembali dengan temannya Tjoa Tjie Liang. Hubungan persahabatannya tak sekadar sebagai teman kerja, Baswedan bahkan sempat menumpang di rumah sewa milik Tjoa Tjie Liang.
“Saya pun hanya dapat menyediakan sebuah kamar dan sebuah kursi malas bagi saudara (Baswedan) dan makan pun bersama-sama yang serba sederhana dan seadanya, kebetulan pula di masa itu saya pun hanya vegetarian saja,” tulis Tjoa Tjie Liang seperti dikutip Sutamin.
Di Matahari, Baswedan bisa mencurahkan kembali perhatiannya pada persoalan penduduk Arab. Misalnya, ketika ia menulis artikel dengan judul “Peranakan Arab dan Totoknya” yang dimuat pada Matahari edisi 1 Agustus 1934. Artikel tersebut juga memuat foto dirinya memakai pakaian Jawa sebagai simbol melepaskan kebangsaan Arab.
Dua bulan kemudian setelah tulisan tersebut, Baswedan merealisasikan ide tersebut dengan mendirikan Persatoean Arab Indonesia (PAI). Secara tak sadar Baswedan mengikuti jejak seniornya Koen Hian yang telah mendirikan Partai Tionghoa Indonesia dua tahun lebih awal. Sayangnya, untuk mewujudkan ide tersebut, Baswedan terpaksa mengorbakan pekerjaannya sebagai wartawan Matahari dan kemudain mendirikan majalah PAI dengan nama Sadar.
Meski tak lagi bekerja sebagai wartawan untuk surat kabar Tionghoa, ikatan persahabatan Baswedan dengan kalangan Tionghoa tak putus begitu saja. Hal ini dibuktikan pada masa awal Jepang menduduki Solo, Baswedan mempersilahkan Koen Hian bersama isteri, dua anak dan keponakannya menumpang tinggal di rumahnya selama satu bulan lamannya.
Di tahun 1945, Baswedan kembali bertemu dengan Koen Hian sebagai sesama anggota Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK).