Pelajaran Demokrasi Brazil Pasca Kediktatoran Militer untuk Indonesia

Oleh: Gede Sandra, Analis Ekonomi PKR
Sabtu, 29 Oktober 2022 | 22:55 WIB
Ilustrasi/dok: VOA Indonesia
Ilustrasi/dok: VOA Indonesia

SinPo.id -  Sistem politik demokrasi Brazil sejak tahun 1985 setelah direbut dari pemerintah kediktatoran militer yang berkuasa selama 20 tahun (1964-1984), telah membuat perekonomian warga Brazil mengalami peningkatan yang cukup signifikan.

Pada tahun 2002, akhir pemerintahan Fernando Cardoso, pendapatan perkapita warga Brazil adalah sebesar USD 2.829. Tingkat kemiskinan (pendapatan di bawah USD 2 perhari) berada di 11,7 persen. Setelah Lula da Silva menjabat Presiden, selama delapan tahun, pendapatan perkapita warga Brazil pada tahun 2010 meningkat sangat pesat menjadi sebesar USD 11.286 atau sudah masuk kategori sebagai negara maju.

Bandingkan peningkatan pendapatan perkapita dari tahun 1985 ke 2002 yang sebesar 71 persen, dengan peningkatannya dari tahun 2002 ke 2010 yang sebesar 318 persen. Tingkat kemiskinan pada tahun 2010 sudah turun ke level satu dijit di 5,3 persen. Maka wajar bila banyak yang memandang bahwa masa keemasan perekonomian Brazil terjadi pada masa Lula da Silva sebagai Presiden (2002-2010).

Apa yang terjadi di Brazil, merupakan pengalaman baik dimana demokrasi benar-benar bekerja untuk mayoritas masyarakatnya. Demokrasi berhasil mendorong peningkatan
pendapatan dan pengurangan kemiskinan. Bila coba disimpulkan, ada banyak pelajaran berharga dari demokrasi Brazil sejak 1985 hingga kini.

Pada akhir tahun 1998, Suharto meninggalkan Indonesia dengan angka kemiskinan 49,5 juta jiwa. Terima kasih kepada Presiden Abdurachman Wahid yang berhasil menurunkan menjadi 38 juta jiwa di tahun 2001, kemiskinan turun sebanyak 10 juta orang dalam 2 tahun. Laju pengurangan kemiskinan di era ini adalah yang paling tinggi. Sayang masa pemerintahan Gus Dur tidak lama.

Seandainya Gus Dur diberikan waktu memerintah sepanjang Lula da Silva dan PT (Partai Buruh), mungkin Indonesia dapat lebih baik lagi, tidak akan ketinggalan dari Vietnam saat ini. Gus Dur juga satu-satunya Presiden di Indonesia yang berhasil menurunkan indeks gini ke 0,31 (terendah sepanjang masa), hampir serendah negara-negara Welfare State (Indeks Gini: 0,2-0,3).

Mungkin pada masa ini juga Indonesia akan berhasil menaikkan pertumbuhan ekonomi dari minus menjadi positif, dengan mengurangi utang secara signifikan (menjadi pelopor dari debt swap dan debt to nature swap), tapi tetap
menaikkan gaji pegawai negeri berkali lipat. Sehingga satu-satunya rezim pemerintahan yang berhasil mengurangi utang secara akumulatif adalah pemerintahan Gus Dur.

Indonesia mengalami kediktatoran militer selama 32 tahun, 12 tahun lebih lama dari apa yang terjadi di Brazil. Mungkin inilah alasan yang lain mengapa banyak orang Indonesia saat ini ingin kembali lagi ke masa itu. Apalagi banyak tokoh Orde Baru yang Kembali mendapat kekuasaan saat ini.

Sementara orang-orang yang dahulu berdarah dan bernanah memperjuangkan demokrasi saat Reformasi, kini tidak diberikan tempat. Ada Presiden yang tidak pernah memperjuangan demokrasi, dan mengambil untung dari demokrasi, tapi kini dia sendiri yang menutup kran demokrasi. Korupsi bertambah luas, bahkan banyak yang bersaksi lebih gawat dibanding era Orde Baru.

Kolusi dan nepotisme sudah diizinkan dan dipamerkan oleh keluarga Presiden sendiri. Media-media massa saat ini takut untuk memberitakan apa pun yang mengganggu Presiden dan keluarganya, ancamannya si wartawan kehilangan pekerjaan. Hukum diinjak-injak sampai sehancur-hancurnya oleh penegak hukum. Pembantaian dan korban jiwa dianggap angka belaka, hingga kebebasan telah menjadi barang langka.

Freedom House, sebuah Lembaga yang didirikan oleh Eleanor Roosevelt pada tahun 1941 untuk melawan fasisme, yang di tahun 1948 dirinya menjadi pemimpin dalam merumuskan Deklarasi Hak Asasi Manusia di PBB, menerbitkan skor kebebasan yang sudah dimulai sejak tahun 1973 di seluruh Negara.

Kebebasan di Indonesia saat ini diberikan lembaga itu skor sebesar 59 dari 100, dengan status “setengah bebas (partly free)”. Sementara Brazil, skornya lebih tinggi, 73 dari 100, dengan status “bebas (free)”. Inilah mungkin pelajaran terpenting yang harus Indonesia kejar dari Brazil, yaitu memperjuangkan kebebasan.sinpo

Komentar: