Co-Firing Biomassa disebut Memperburuk Lingkungan Sekitar PLTU
SinPo.id - Metode co-firing biomassa dinilai memperburuk kondisi warga sekitar pembangkit listrik tenaga uap atau PLTU di Indramayu Jawa Barat. Co-firing biomassa merupakan salah satu strategi pemerintah yang diklaim untuk transisi energi dan netral karbon.
“Padahal emisi dari pembakaran biomassa ini terindikasi sama atau lebih daripada batubara,” kata Manager Advokasi dan Kampanye Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Jawa Barat, Wahyudin, dalam pernyataan resmi, Jum’at 21 Oktober 2022
Menurut Wahyudin PLTU Indramayu 1, merupakan salah satu dari 35 PLTU di Indonesia yang sudah menerapkan metode co-firing dengan kapasitas 3 x 330 megawatt, yang berdiri di Desa Sumuradem, Kecamatan Sukra.
PLTU itu telah beroperasi sejak tahun 2011 dikelola oleh anak usaha PLN, PT Pembangkitan Jawa Bali. Pembangkit itu telah melakukan co-firing biomasa pelet kayu sejak akhir tahun 2021. “Praktik ini dilakukan dengan cara mengoplos batubara yang dibakar dengan biomassa cangkang sawit, sekam padi, dan pelet kayu sejumlah 1 persen hingga 10 persen,” kata Wahyudin menjelaskan.
Tercatat sejak tahun 2020, PLTU Indramayu 1 telah menjalankan skema co-firing Biomassa. Namun aktivitas tersebut berdampak pada pencemaran lingkungan dan gangguan kesehatan warga sekitar.
Sebelum skema co-firing dilakukan, aktivitas pembakaran batubara sudah serius dialami warga sekitar. Skema ini merupakan ancaman yang serius karena aktivitas penebangan hutan untuk lahan bahan baku pelet kayu ini berkontribusi terhadap peningkatan suhu global.
“Dan tidak menutup kemungkinan terjadinya bencana ekologis,” ujar Wahyudin menjelaskan.
Berdasarkan pengakuan warga yang tinggal di sekitar PLTU, asap pembakaran dari PLTU co-firing Indramayu 1 memiliki dampak yang sama bahkan lebih buruk dari sebelumnya.
Praktik co-firing yang dilakukan pada PLTU Indramayu 1 justru berpotensi memperpanjang dampak negatif yang dialami warga di antaranya sawah dan perkebunan rusak, hasil laut semakin berkurang, gangguan pernapasan dan penglihatan akibat asap PLTU.
Hal itu diakui Surmi, petani sekitar PLTU Indramayu1 yang juga mejadi anggota Jaringan Anti Asap Indramayu (JATAYU). Menurut Surmi, hasil panen memburuk akibat pencemaran debu dan asap pembakaran PLTU. “Sehingga kita perlu berhutang untuk modal dan membayarnya sulit,” ujar Surmi.
Menurut dia, proses pembakaran co-firing tak hanya menimbulkan pencemaran debu yang merusak hasil panen, namun juga asap pekat.
Dalam riset “Membajak Transisi Energi” serial “Adu Klaim Mengurangi Emisi” yang dilunurkan Trend Asia pada 2022, ditemukan bahwa metode co-firing tidak bersifat netral karbon ketika menghitung emisi dari hulu ke hilir.
“Praktik co-firing ini sebenarnya bukan solusi substansial untuk masalah energi Indonesia. Ia tidak benar-benar netral karbon,” ujar juru kampanye dari Trend Asia, Meike Inda Erlina.
Ia menilai co-firing hanya proyek bersolek pemerintah agar kelihatan hijau di muka internasional dan mengejar angka bauran, khususnya menjelang pertemuan G20.
Menurut dia, di hadapkan dengan wacana pemensiunan dini PLTU yang lamban, kebijakan co-firing lebih memihak pada oligarki batubara daripada mendengarkan kekhawatiran warga terdampak atau bersikap serius menyikapi ancaman perubahan iklim.
“Co-firing ini mengalihkan fokus kita dari solusi energi bersih yang efektif,” kata Meike menjelaskan.
Selain berdampak pada aspek ekonomi dan kesehatan warga, praktik co-firing ini berpotensi menambah beban keuangan negara. Kondisi ini akan menghambat masuknya energi bersih terbarukan dan berkelanjutan seperti angin dan surya ke dalam angka bauran energi.
“Sayangnya pemerintah justru memilih energi yang kotor, destruktif, dan memakan ongkos besar akibat beban lingkungan yang ditimbulkan,” katanya.