Oei Tiong Djoe, Inisiator Mengatasi Kelaparan Saat Pertempuran Lima Hari di Semarang

Laporan: Sinpo
Sabtu, 15 Oktober 2022 | 07:00 WIB
Salah satu front Pertempuran Lima Hari di Semarang sekitar 14-17 Oktober 1945 di Jomblang. Djawahir Muhammad dalam Semarang Lintasan Sejarah dan Budaya
Salah satu front Pertempuran Lima Hari di Semarang sekitar 14-17 Oktober 1945 di Jomblang. Djawahir Muhammad dalam Semarang Lintasan Sejarah dan Budaya

Oei Tiong Djoe merupakan  kepala kampung atau wijkmeesteer Tionghoa di Ambengan yang mencoba mengulurkan bantuan. Kehadiran pengetik Teks Proklamasi, Sayuti Melik dan  isterinya merealisasikan ide pembagian pangan saat kota sedang dilanda pertempuran

SinPo.id -  Hari ini, tepat 77 tahun lalu  ketika terjadi perang kota yang populer hingga kini dengan peristiwa Pertempuran Lima Hari di Semarang. Kejadian itu mengingatkan sosok Oei Tiong Djoe, seorang warga sipil suku Tionghoa yang punya gagasan mengatasi kelaparan ketika perang sengit antara pejuang republik di Kota Semarang dengan pasukan Jepang.

Selama Pertempuran Lima Hari di Kota Semarang berlangsung pada 15 Oktober hingga 19 Oktober 1945, persediaan pangan mulai menjadi masalah yang pelik bagi masyarakat. kondisi saat itu tak ada satupun pedagang yang berjualan di Pasar. Termasuk di Pasar Johar, yang telah beralih menjadi tempat pertahanan para pemuda.

“Warung-warung menutup rapat-rapat daun pintunya. Banyak penduduk sudah mulai makan bubur, atau apa saja yang dapat dipergunakan untuk mengisi perut. Di berbagai tempat, terasa kekurangan bahan makanan,” tulis Panitia Penyusunan Sejarah Pertempuran Lima Hari di Semarang dalam  Sejarah Pertempuran Lima Hari di Semarang.

Untuk mengatasi masalah tersebut Oei Tiong Djoe, kepala kampung atau wijkmeesteer Tionghoa di Ambengan, mencoba mengulurkan bantuan. Kebetulan saat ia duduk di rumahnya yang berada di Jalan Petudungan, saat itu kebetulan lewatlah Pengetik Teks Proklamasi, Sayuti Melik dan  isterinya, keduanya sejak lama telah berkediaman di Semarang. 

Oei Tiong Djoe lantas memangil keduanya dengan menjelaskan kondisi masyarakat Kota Semarang yang memprihatinkan dan sekaligus meminta bantuan kepada keduanya untuk mengambil beras dan bahan makanan lainnya di gudang-gudang Jepang, agar dapat dibagikan ke masyarakat. Sayuti Melik pun setuju.

Lantas Oei Tiong Djoe menyuruh keduanya meminta kunci gudang yang dipegang oleh Tan Ing Kwan di Jalan Krangan dan Liem Kong Jan di Jalan Kebon Cino.  Sebelum Sayuti Melik berangkat, ia meminta kepada Oei  Tiong Djoe agar masing-masing diberikan tugas.

Sayuti Melik dan isterinya akan bertugas untuk mengambil kunci dan mengambilkan kupon pembagian makanan. Sedangkan Oei Tiong Djoe ditugaskan mengumumkan ke masyarakat tentang adanya pembagian beras yang dapat diambil dengan cara meminta kupon ke Sayuti Melik di Jalan Kenanga.

“Berhubung tugas itu, Oei Tiong Djoe kemudian menghubungi lurah Kampung Bustaman, dengan maksud agar ia dapat memberitahukan kepada seluruh lurah-lurah di Semarang, mengenai soal pembagian kupon beras pada penduduknya masing-masing. Dengan demikian, seluruh rakyat Semarang akan cepat dapat mengetahuinya,” tulis Panitia Penyusunan Sejarah Pertempuran Lima Hari di Semarang lebih lanjut.

Tugas tersebut berhasil dijalankan baik oleh Sayuti Melik dan isterinya, maupun oleh Oei Tiong Djoe. langkah itu membuat krisis pangan selama Pertempuran Lima Hari tersebut berhasil teratasi.

Pertempuran Lima Hari di Semarang terjadi akibat adanya penolakan penyerahan senjata oleh pasukan elite Jepang atau Kempetai, Kido Butai. Hal ini diperparah dengan kemarahan para pemuda atas tewasnya  Dokter Kariadi,  seorang dokter yang bertugas di Rumah Sakit Purusara, yang saat itu sedang menyelidiki desas-desus penampungan air (reservoir) Siranda yang dikabarkan tengah diracun.

Pertempuran Lima Hari baru berakhir setelah  satu brigade pasukan Inggris dari  pasukan Gurkha tiba di Semarang pada 19 Oktober 1945, yang ditugaskan untuk memulangkan tentara Jepang. Sehari setelahnya, pasukan Sekutu, Jepang, dan wakil pemerintah Republik Indonesia kemudian mengadakan konferensi di Hotel Du Pavillion yang menghasilkan gencatan senjata.

Sejarawan Benedict Anderson dalam Revolusi Pemoeda: Pendudukan Jepang dan Perlawanan di Jawa 1944-1946, mencatat Pertempuran Lima Hari di Semarang mengakibatkan 2 ribu orang Indonesia tewas dan 500 pasukan Jepang mengalami nasib yang sama.

BERITALAINNYA
BERITATERKINI