Pemindahan Ibu Kota Tak Dapat Diubah dengan Undang-Undang Baru

Laporan: Sinpo
Selasa, 20 September 2022 | 06:20 WIB
Hakim Konstitusi Saldi Isra saat mengajukan pertanyaan pada sidang lanjutan uji Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2022 tentang Provinsi Kalimantan Selatan, Senin (19/09) di Ruang Sidang MK. Foto Humas/Ifa.
Hakim Konstitusi Saldi Isra saat mengajukan pertanyaan pada sidang lanjutan uji Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2022 tentang Provinsi Kalimantan Selatan, Senin (19/09) di Ruang Sidang MK. Foto Humas/Ifa.

SinPo.id -  Apabila Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2022 tentang Provinsi Kalimantan Selatan (UU Kalsel) memuat hal yang berbeda dengan undang-undang sebelumnya (UU Pemerintahan Daerah), terutama jika memuat secara khusus tentang mengganti/memindah kedudukan ibu kota suatu provinsi, kabupaten/kota, maka pengaturan pemindahan kedudukan tersebut masuk dalam  konsep penataan dan penyesuaian daerah, yang telah secara tegas dimuat dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Sehingga ketentuan hukum dari pasal tersebut, hanya bersifat einmalig/sekali jalan tadi. Dengan kata lain, pasal tersebut tidak dapat diubah lagi dengan undang-undang baru tentang pengaturan daerah otonom yang sama.

Demikian keterangan yang disampaikan Ichsan Anwary selaku Ahli yang dihadirkan oleh Pemohon Perkara Nomor 60/PUU-XX/2022. Keterangan ini disampaikan dalam sidang ketujuh dari pengujian Pasal 4 UU Kalsel yang digelar pada Senin (19/9/2022). Perkara Nomor 58/PUU-XX/2022, 59/PUU-XX/2022, dan 60/PUU-XX/2022 tersebut dimohonkan oleh Kamar Dagang dan Industri (KADIN) Kota Banjarmasin (Pemohon I) dan sejumlah Pemohon perseorangan yang tergabung dalam Forum Komunikasi Kota Banjarmasin (Pemohon II, III, IV,V) serta Wali Kota Banjarmasin Ibnu Sina dan Ketua DPRD Kalimantan Selatan Harry Wijaya. 

Secara sederhana, Ichsan mengilustrasikan dari berbagai daerah provinsi maupun daerah kabupaten/kota yang melakukan pemindahan ibu kota, tidak ditemukan perubahan ibu kota dengan melakukan perubahan atau penyesuaiannya dengan memuat di dalam undang-undang. Menurutnya dalam dinamika berpemerintahan, pemindahan ibu kota dilakukan dengan instrumen hukum berbentuk Peraturan Pemerintah di antaranya seperti yang dilakukan oleh Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 1979 tentang Pemindahan Ibukota Provinsi Daerah Tingkat I Sumatera Barat Dari Bukittinggi Ke Padang; Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 1995 tentang Pemindahan Ibu Kota Kabupaten Daerah Tingkat II Tangerang Dari Wilayah Kotamadya Daerah Tingkat II Tangerang Ke Kecamatan Tigaraksa Di Wilayah Kabupaten Daerah Tingkat II Tangerang; dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 52 Tahun 1996 tentang Pembentukan Kabupaten Puncak Jaya, Kabupaten Paniai Perubahan Nama Dan Pemindahan Ibu Kota Kabupaten Daerah Tingkat II Paniai Di Wilayah Provinsi Daerah Tingkat I Irian Jaya.

“Dengan demikian, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2022 tentang Provinsi Kalimantan Selatan khususnya Pasal 4 tersebut bersifat stagnan/floating/mengambang dan tidak dapat dilaksanakan karena di dalam undang-undnag tersebut tidak mengatur secara teknis tentang pengaturan masa transisi pemindahan ibukota dari Kota Banjarmasin ke Kota Banjarbaru, termasuk pula pendanaan pemindahan ibu kota yang tidak dinyatakan secara tegas akan dibebankan pada anggaran mana,” jelas Ichsan dalam sidang yang dipimpin Wakil Ketua MK Aswanto dengan didampingi tujuh hakim konstitusi lainnya dari Ruang Sidang Pleno, Gedung MK, Jakarta.

Belum Tersosialisasi pada Masyarakat

Pada kesempatan berikutnya, Ahmad Barjie B. selaku Saksi Pemohon Perkara Nomor 60/PUU-XX/2022 menyebutkan dengan disahkannya undang-undang yang menetapkan perpindahan ibu kota Provinsi Kalsel dari Kota Banjarmasin ke Kota Banjarbaru yang dinilai cukup mengejutkan masyarakat. Sebab, sebagai bagian dari warga kota Ahmad belum pernah mengikuti uji publik dan melihat naskah akademik yang melatarbelakangi perpindahan ibukota provinsi tersebut. “Sehingga wajar berbagai kalangan masyarakat terkejut dan menolak perpindahan tersebut dengan berbagai alasan masing-masing karena kurangnya sosialisasi terhadap perubahan undang-undang tersebut,” kisah Ahmad.

Sebagai informasi, para Pemohon Perkara Nomor 58/PUU-XX/2022 menjabarkan telah dirugikan atas keberadaan UU Provinsi Kalsel karena dalam proses pembuatan norma tersebut tidak melibatkan partisipasi masyarakat sehubungan dengan pemindahan ibu kota Kalimantan Selatan. Selain itu, UU Provinsi Kalsel juga dinilai merugikan para pengusaha yang tergabung dalam Kadin Kota Banjarmasiin (Pemohon I) karena dengan rencana pemindahan ibu kota provinsi ke Kota Banjarbaru akan berdampak pada sektor ekonomi, terutama bagi penyedia akomodasi dan usaha kuliner serta sektor konstruksi dalam penyediaan pembangunan fisik yang akan mengurangi kemajuan infrastruktur pendukung di Kota Banjarmasin.

Sementara bagi Pemohon II, III, IV, dan V, menyatakan ketidakjelasan faktor mendasar dari pemindahan ibu kota provinsi ini dapat merugikan para Pemohon karena gejolak ekonomi akibat Covid-19, harga kebutuhan yang naik, dan alokasi APBD provinsi yang akan beralih untuk ibu kota baru sehingga kesejahteraan masyarakat tidak lagi menjadi hal yang prioritas. Menurut para Pemohon, pendanaan besar untuk pemindahan ibu kota tersebut dapat digunakan untuk pemulihan Covid-19, bantuan-bantuan untuk masyarakat, dan dana pendidikan.

Berikutnya dalam Perkara Nomor 59/PUU-XX/2022, para Pemohon dalam dalilnya menyatakan Pasal 4 UU Kalsel bertentangan dengan Pasal 1 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 28D, Pasal 28F, Pasal 28H ayat (1), Pasal 18B ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945. Secara historis para Pemohon melihat, Kota Banjarmasin memiliki peran penting dalam perkembangan Provinsi Kalimantan Selatan sejak masa 1500-an yang dijadikan pusat pemerintahan.  Dengan mengubah kedudukan Kota Banjarmasin sama dengan melakukan pembelokan sejarah. Sehingga pasal Provinsi Kalsel bertentangan dengan UUD 1945 karena tidak adanya keadilan dalam menghargai historis Banjarmasin sebagai daerah yang masih kental dengan hak-hak tradisional Banjarmasin yang masih berkembang hingga saat ini sebagai ibu kota provinsi Kalimantan Selatan. Untuk itu para Pemohon memohon pada Mahkamah agar mengabulkan permohonan untuk seluruhnya dan menyatakan UU  Provinsi Kalsel bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “Ibukota Provinsi Kalimantan Selatan berkedudukan di Kota Banjarmasin dan pusat pemerintahan di Kota Banjarbaru”.

Sementara para Pemohon Perkara Nomor 60/PUU-XX/2022 menyatakan dalam proses pembentukan UU a quo tidak melibatkan partisipasi masyarakat secara umum dan secara khusus DPR RI tidak ke Banjarmasin untuk datang langsung menampung aspirasi masyarakat. Selain itu, pembentukan UU Provinsi Kalsel juga tidak memperhatikan keserasian hubungan pemerintah pusat daerah. Hal ini terbukti dengan tidak adanya penetapan DPRD Provinsi Kalimantan Selatan dalam rapat paripurna untuk memutuskan ibu kota provinsi berpindah dari Banjarmasin ke Banjarbaru dan sebagai pemangku kepentingan pemerintah daerah Kota Banjarmasin pun tidak pernah dilibatkan, mulai dari tahap pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi hukum dan menjadi rancangan yang diajukan dalam penetapan rancangan undang-undang.

BERITALAINNYA
BERITATERKINI