Dua Tokoh Komunis Jadi Pahlawan Nasional, Siapakah Dia?

Laporan: Tri Bowo Santoso
Kamis, 15 September 2022 | 22:48 WIB
Bendera Partai Komunis Indonesia
Bendera Partai Komunis Indonesia

SinPo.id - Ideologi komunisme di Indonesia menjadi momok yang sangat menakutkan sejak Orde Baru hingga saat ini. Terlebih lagi ketika muncul tragedi G30SPKI, paham kiri itu dianggap sebagai aib dan dilarang di Tanah Air. Banyak tokoh komunis dan kadernya yang ditangkap dan dieksekusi hukuman mati.

Bahkan, buku-buku Marxisme sebagai "kitab" ideologi mereka dibakar dan dilarang beredar pada masa Orde Baru. Tak dinyana, ternyata ada sejumlah tokoh komunis yang justru menerima anugerah gelar pahlawan nasional.

Memang, pemikiran dan usaha mereka dalam memperjuangkan Indonesia ke pintu gerbang kemerdekaan  tak bisa dipungkiri. Berikut ada dua tokoh komunis yang menjadi Pahlawan Nasional di Tanah Air.

1. Alimin

Sebelum terjadinya pemberontakan PKI Madiun 1948, partai berhaluan kiri ini ternyata pernah melakukan hal yang sama.

PKI yang sebelumnya bernama Indische Social Democratische Vereeniging (ISDV) pernah melakukan pemberontakan pada tahun 1926 di Banten dan tahun 1927 di Sumatera Barat.

Salah satu tokoh yang terlibat dalam gerakan itu adalah Alimin.

Alimin merupakan pria asal Jawa Tengah yang lahir pada 1889. Dia turut bergabung dalam Indische Social Democratische Vereeniging (ISDV) bersama Ibrahim atau karib disapa Tan Malaka.

Meski bernaung dalam partai yang sama, keduanya memiliki pandangan yang berbeda.

Tan Malaka menolak dan mengecam aksi pemberontakan PKI 1926, karena dinilai kurang siap. Sementara, Alimin yang tetap ngotot dengan keputusan tersebut.

Di sinilah perang pemikiran antara Tan Malaka dan Alimin terjadi. Keduanya saling menyerang lewat opini.

Tan Malaka mengeluarkan thesis yang berisi jawaban atas tudingan teman-teman separtainya yang menuduhnya sebagai pengkhianat.

Kemudian, thesis tersebut mendapat respon dari Alimin dengan analisis yang memperkuat tudingan pengkhianatan terhadap Tan Malaka.

Meski terjadi pertentangan di antara keduanya, pemberontakan pun tetap berjalan.

Ternyata, perkiraan Tan Malaka terbukti benar. Pemberontakan gagal dan para tokoh yang terlibat ditangkap oleh militer Belanda.

Tidak seperti pemberontakan PKI lainnya, Pemberontakan PKI 1926 dinilai sebagai salah satu bentuk perjuangan masyarakat Indonesia melawan kependudukan Belanda.

Walaupun pemberontakan itu berakhir dengan kegagalan, Alimin telah berusaha untuk memperjuangkan Bangsa Indonesia.

Selain keterlibatannya dalam partai komunis, Alimin juga pernah terlibat dalam sejumlah pergerakan nasional seperti Budi Utomo, Sarekat Islam, Insulinde.

Alimin juga merupakan salah satu pendiri Sarekat Buruh Pelabuhan.

Mengingat jasa-jasanya dalam berbagai pergerakan nasional begitu besar, Alimin dianugrahkan gelar pahlawan nasional pada 1964 oleh Presiden Soekarno.

Alimin tutup usia pada 24 Juni 1964 dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Nasional Utama Kalibata.

2. Tan Malaka

Tan Malaka dijuluki oleh fouding father Soekarno sebagai Bapak Republik Indonesia. Namun, namanya sempat tak terdengar di saat pemerintahan Soeharto, lantaran dianggap sebagai tokoh komunis yang peling berbahaya.

Meski Tan Malaka dilabeli sebagai tokoh komunis, faktanya pria kelahiran 2 Juni 1897 di Nagari Pandam Gadang, Sumatera Barat itu merupakan orang yang terpandang di Ranah Minang. Dia terlahir dengan nama asli Sutan Ibrahim.

Dia adalah anak dari pasangan HM Rasad dan Rangkayo Sinah. Nama Tan Malaka ia dapatkan berkat garis bangsawan dari ibunya.

Tan Malaka bergabung dengan Indische Social Democratische Vereeniging (ISDV), yang kemudian berubah menjadi Partai Komunis Indonesia.

Bahkan, Tan Malaka pernah menjadi ketua dari partai tersebut. Tan Malaka terkenal aktif mengirim tulisan yang berisi penderitaan pribumi ke berbagai surat kabat.

Tulisannya yang tajam dan radikal membuat Tan Malaka menjadi buron oleh kolonial Belanda. Dia sering berpindah dan bersembunyi dalam pelarian dengan 23 nama samaran yang digunakan untuk menjelajahi 11 negara.

Dalam pelariannya di Cina, Tan Malaka menulis sebuah buku yang menjadi pelopor dari konsep negara Indonesia berjudul Naar de Republiek Indonesia (Menuju Republik Indonesia) pada 1925.

Tidak hanya itu, Tan Malaka juga menulis buku Madilog: Materialisme, Dialektika, dan Logika yang berisi cita-cita Tan Malaka untuk Indonesia.

Selain tulisan, Tan Malaka juga terjun langsung dalam berbagai gerakan untuk perjuangan bangsa. Dia menolak tunduk kepada Belanda dan tidak sudi berunding dengannya.

Hal inilah yang menjadi penghalang antara Soekarno Hatta dan Tan Malaka.

Soekarno-Hatta yang memilih jalan diplomasi membuat Tan Malaka geram. Dari sinilah terbentuk kelompok oposisi. Tan Malaka bersama anggota oposisinya melakukan kudeta kepada Pemerintahan Sjahrir.

Upaya kudeta gagal dan Tan Malaka dijebloskan ke dalam penjara selama 2 tahun.

Setelah Tan Malaka bebas, ia membentuk Partai Musyawarah Rakyat Banyak (Murba) pada 7 November 1948.

Bergerak di Solo, Yogyakarta, hingga Jawa Timur, Tan Malaka bersama Murba bergerilya menghadapi Belanda. Bahkan, dia menyuarakan rakyat untuk ikut melawan melalui radio di Kediri.

Pergerakan Tan Malaka dianggap sebagai ancaman oleh pemerintah. Atas perintah Gubernur Militer Jawa Timur, Tan Malaka menjadi buronan.

Tan Malaka berhasil ditangkap oleh pasukan Batalion Sikatan Divisi Brawijaya saat menyusuri Kaki Gunung Wilis, Desa Selopanggung, Kediri, Jawa Timur.

Dia pun langsung dieksekusi dan dimakamkan di Kediri.

Pada tahun 1963, Presiden Soekarno menetapkan Tan Malaka sebagai pahlawan nasional.

Sayangnya, Orde Baru justru menganggap Tan Malaka sebagai musuh Indonesia, karena keterkaitannya dalam partai komunis.

Padahal, Tan Malaka menentang keras pemberontakanpada tahun 1926 di Banten dan tahun 1927 di Sumatera Barat, serta di Madiun pada 1948.

 sinpo

Komentar:
BERITALAINNYA