Aktor Bjorka Sadarkan Publik Soal Bahaya dari Kebocoran Data

Laporan: Sinpo
Senin, 12 September 2022 | 09:36 WIB
Hacker Bjorka meretas data KPU. Foto: Tangkapan layar
Hacker Bjorka meretas data KPU. Foto: Tangkapan layar

SinPo.id - Pengamat militer dan Intelijen, Susaningtyas Kertopati, menilai, kebocoran data menjadi tren global termasuk di Indonesia sejak awal masa pandemi Covid-19. Diawali dengan kebocoran data Tokopedia pada Mei 2020.

Kemudian berlanjut dengan kasu kebocoran data BPJS, KPU, Polri, Pertamina, BI, BUMN dan berbagai Lembaga Negara, Kementrian, dan Pemerintah daerah.

"Yang paling menyita perhatian adalah kebocoran data Kementrian Kesehatan, data registrasi nomor seluler Kominfo dan juga data pemilih KPU. Kominfo dan KPU kebocorannya baru saja diupload pada sebulan terakhir," kata wanita yang karib disapa Nuning itu, Senin, 12 September 2022.

Awalnya, menurut Nuning, kasus kebocoran data tidak mendapatkan perhatian publik secara massif. Namun, dengan hadirnya aktor Bjorka yang viral menyebabkan perhatian masyarakat berpaling.

"Setidaknya beberapa hal penyebab Bjorka menarik perhatian publik, yaitu menyebut menyerang Kominfo Jonny G Plate, lalu mengancam membocorkan data leaks istana dan sudah dilakukan, terakhir yang membuat viral karena Bjorka menyerang Denny Siregar sehingga mendapatkan banyak balasan viral di Twitter," tutur Nuning.

Menurut Nuning, penyebab utama banyaknya kebocoran data di tanah air antara lain ketidaksiapan stakeholder menghadapi arus kencang perubahan siber terlihat dari belum adanya UU PDP, UU KKS yang pada akhirnya lembaga negara serta kementrian ini tanpa petunjuk jelas dan tegas dalam melakukan digitalisasi serta pengamanan siber di Lembaga masing-masing.

"Penyebab lain adalah banyaknya sistem informasi aplikasi yang dibangun lebih dari 24 ribu aplikasi dan lebih dari 2.700 database, ini diperparah dengan pengamanan yang seadanya bahkan aplikasi yang tidak terpakai masih banyak yang online dengan tanpa pengawasan sama sekali, alias diabaikan," tutur Nuning.

Pada kenyataannya, yang jadi masalah ancaman siber belum diutamakan. Kesadaran keamanan informasi belum dimiliki oleh pemimpin dan kesadaran masyarakat juga masih sangat lemah,dianggap ancaman siber itu tidak nyata. Padahal siber ini senjata yang paling ampuh untuk kuasai dunia.

Nuning mengatakan, yang bisa dilakukan untuk perbaikan adalah menyusun dan mengesahkan UU PDP (UU Pelindungan Data Pribadi) dengan sesegera mungkin.

"Namun dengan isi yang kuat, misalnya soal denda dan hukuman bagi Lembaga (PSE, Penyelenggara Sistem Elektronik) yang mengalami kebocoran data. Jadi PSE ini bukan diposisikan sebagai korban, tetapi sebagai pihak yang bertanggungjawab pada data yang mereka kelola," tuturnya.

UU PDP, sambungnya, juga harus memberi amanat pada pembentukan Komisi PDP yang independent, setara dengan komisi negara lain seperti KPK dan KPU, bukan berada dibawah Kementrian seperti usul Kominfo agar Komisi PDP berada dibawah mereka.

"Ini penting melihat bagaimana dalam kasus kebocoran data registrasi nomor seluler, Kominfo tidak bisa dengan terang membuka siapa yang bertanggungjawab, pada Kominfo sendiri yang seharusnya bertanggungjawab, ini tentu bukan preseden yang baik bagi penguatan keamanan siber di tanah air," ujarnya.

Untuk berbagai kasus yang sedang viral saat ini, menurut Nuning perlu dibuat satgas khusus untuk mengejar pelaku hacking dan pembocoran data pribadi. Satgasus ini bisa dari berbagai elemen, pemerintah, akademisi, professional, pakar dan komunitas hacker tanah air.

Lalu, perlu dilakukan audit digital forensic ke seluruh Kementerian Lembaga, Pemerintah Pusat/daerah, TNI/Polri sehingga diketahui dengan lebih detail dimana saja ancaman kebocoran data dan peretasan ini terjadi.

"Evaluasi pada berbagai aplikasi dan sistem informasi yang dimiliki pemerintah, seperti diinfo Kemenkeu ada lebih dari 24 ribu aplikasi dan lebih dari 2.700 database. Ini perlu segera dilakukan evaluasi sehingga bisa dibuat superapps dan satu data nasional," tandas Nuning.

 

BERITALAINNYA
BERITATERKINI