BI: Cadangan Devisa Per Agustus 132,2 Miliar Dolar AS

Laporan: Tri Bowo Santoso
Rabu, 07 September 2022 | 16:53 WIB
Logo Bank Indonesia
Logo Bank Indonesia

SinPo.id - Bank Indonesia (BI) mencatat, posisi cadangan devisa Indonesia pada akhir Agustus 2022 masih tinggi, yakni, sebesar 132,2 miliar dolar AS atau relatif stabil dibandingkan posisi akhir Juli 2022 yang juga 132,2 miliar dolar AS.

Direktur Eksekutif Kepala Departemen Komunikasi BI, Erwin Haryono, mengatakan, perkembangan posisi cadangan devisa antara lain dipengaruhi penerimaan pajak dan jasa, serta penerimaan devisa migas di tengah kebutuhan untuk stabilisasi nilai tukar rupiah yang sejalan dengan masih tingginya ketidakpastian pasar keuangan global.

"Adapun posisi cadangan devisa pada bulan lalu itu setara pembiayaan 6,1 bulan impor atau 6,0 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah, serta berada di atas standar kecukupan internasional sekitar tiga bulan impor," tutur Erwin dalam keterangan resmi di Jakarta, Rabu, 7 September 2022.

BI menilai, cadangan devisa pada Agustus 2022 tersebut mampu mendukung ketahanan sektor eksternal serta menjaga stabilitas makroekonomi dan sistem keuangan.

Ke depan, Bank Indonesia memandang cadangan devisa tetap memadai, didukung oleh stabilitas dan prospek ekonomi yang terjaga seiring dengan berbagai respons kebijakan dalam menjaga stabilitas makroekonomi dan sistem keuangan guna mendukung proses pemulihan ekonomi nasional.

Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani menyebutkan penerimaan pajak sampai Juli 2022 mencapai Rp1.028,5 triliun atau naik 58,8 persen dari periode sama tahun lalu yakni Rp647,7 triliun.

Realisasi penerimaan pajak Rp1.028,5 triliun yang merupakan 69,3 persen dari target Rp1.485 triliun ini secara perinci meliputi PPh nonmigas Rp595 triliun atau 79,4 persen dari target serta PPN dan PPnBM Rp376,6 triliun atau 59,1 persen dari target.

Kemudian, PBB dan pajak lainnya Rp6,6 triliun atau 20,5 persen dari target serta PPh migas Rp49,2 triliun atau 76,1 persen dari target.

Kinerja penerimaan pajak ini dipengaruhi oleh tren peningkatan harga komoditas, pertumbuhan ekonomi yang ekspansif, basis yang rendah pada 2021 akibat pemberian insentif fiskal serta dampak implementasi program pengungkapan sukarela (PPS).

 

BERITALAINNYA
BERITATERKINI