Rusia Rayu Anak Muda dengan Uang dan Tanah Agar Mau Perang

Laporan: Sinpo
Selasa, 23 Agustus 2022 | 22:58 WIB
Tentara bayaran Rusia
Tentara bayaran Rusia

SinPo.id - Pengeras suara yang dipasang di tiang-tiang tinggi di jalan utama Kota Volosovo dan beberapa daerah lain biasanya selalu memutar lagu-lagu patriotik saban libur nasional. Namun, kali ini ada yang berbeda. Speaker itu berisi ajakan bagi warga untuk mendaftarkan diri sebagai sukarelawan perang melawan Ukraina.

"Dua batalion artileri sukarelawan sedang dibentuk. Kami mengundang pria berusia 18 sampai 60 tahun untuk bergabung," ujar pembicara melalui speaker sebagaimana dilansir BBC, Selasa, 23 Agustus 2022.

Pesan itu terus diulang-ulang di Rusia. Lewat media sosial, televisi, serta di papan reklame, para pemuda didesak menandatangani kontrak jangka pendek untuk bergabung dengan militer dan berperang di Ukraina.

Otoritas Rusia tengah berupaya merekrut tentara-tentara baru.

Tim BBC mencoba mencegat seorang pria di sebuah jalan di Volsovo dan bertanya apakah dia mendukung perekrutan sukarelawan itu.

"Iya! Kalau saya masih muda, saya akan bergabung, tapi sekarang saya sudah terlalu tua," kata pria itu sambil mengepalkan tinjunya.

"Kami harus mengebom mereka!” sambung pria itu.

Namun banyak pula orang di kota itu yang tampak kurang antusias.

"(Perang) terlalu menyakitkan untuk dibicarakan," keluh seorang perempuan.

"Membunuh saudara sendiri itu salah,” ujarnya.

BBC-pun bertanya bagaimana jika salah satu kerabatnya bersedia bergabung.

"Kenapa harus pergi? Hanya jasad mereka yang akan pulang,” tutur perempuan itu.

Dan banyak orang memang kembali tanpa nyawa.

Meski Moskow tidak merilis data, namun pejabat-pejabat Barat memperkirakan 70.000 sampai 80.000 tentara Rusia telah tewas dan terluka sejak invasi dimulai enam bulan lalu.

Demi menarik rekrutan baru, otoritas menawarkan uang berjumlah besar, sebidang tanah, serta sekolah premium untuk anak-anak mereka.

Bahkan, rekrutmen itu sampai mengunjungi penjara-penjara di Rusia untuk mengajak narapidana bergabung dengan iming-iming kebebasan dan uang.

Wartawan investigasi Roman Dobrokhotov mengatakan, upaya perekrutan ini menggambarkan keputusasaan Rusia.

"Ini bukan tipikal tentara yang diperlukan untuk bisa memenangkan perang. Kremlin masih berharap kuantitas bisa mengalahkan kualitas. Bahwa mereka bisa merekrut ratusan ribu orang yang putus asa akibat hutang dan melempar mereka ke zona konflik,” ungkapnya.

Terlepas dari jumlah uang tunai sekitar Rp85 juta per bulan yang ditawarkan kepada calon rekrutan, Roman mengatakan kenyataannya berbeda dalam beberapa kasus.

"Orang-orang tidak mempedulikan jumlah uang itu. Mereka kembali (dari Ukraina) sekarang dan menceritakan kepada kami, wartawan, tentang bagaimana mereka dibohongi. Ini memengaruhi situasi dan orang-orang kurang percaya dengan pemerintah, jadi saya pikir strategi ini tidak akan berhasil,” sambungnya.

Namun, ada pula orang yang senang bergabung ke medan perang. Salah satunya yakni putra dari Nina Chubarina, Yevgeny. Dia meninggalkan desa mereka di wilayah utara Karelia untuk bergabung dengan batalion sukarelawan.

Nina mengatakan, putranya yang tidak berpengalaman di militer, diberi senjata dan langsung dikirim ke Ukraina. Yevgeny terbunuh hanya beberapa hari kemudian.

Nina Chubarina kehilangan putranya yang baru  berusia 24 tahun setelah bergabung sebagai tentara sukarelawan untuk berperang di Ukraina.

Nina bersedia menemui BBC di sebuah taman di sekitar Moskow, di mana dia bekerja paruh waktu di sebuah pabrik roti.

Pekerjaan mengemas roti yang monoton bisa mengalihkan pikirannya dari kesedihan akibat kehilangan putranya.

Dia sempat memohon kepada putranya untuk tidak berangkat ke Ukraina.

"Saya mencoba membujuknya untuk tidak pergi. Saya menangis dan berkata. 'Ada perang di sana, kamu akan terbunuh!' Dia bilang, 'Bu, semuanya akan baik-baik saja,” terangnya.

Nina mengkritik bagaimana pihak berwenang merekrut sukarelawan untuk berperang di Ukraina.

"Mereka diberangkatkan seperti anak-anak ayam yang bodoh! Mereka bahkan hampir tidak pernah memegang senjata sebelumnya. Mereka adalah umpan. Para jenderal berpikir, 'Kami punya sukarelawan, bagus, ayo pergi!,” lanjutnya.

Tapi, tidak semua orang tertarik mendaftar seperti Yevgeny. Menurut BBC, ini terlihat dari orang-orang yang ditemui di seantero negeri itu yang tidak memberi kesan bahwa orang-orang Rusia mendukung "operasi militer khusus", sebagaimana klaim Kremlin.

Jumlah mobil di jalanan Rusia yang menampilkan simbol "Z" yang bermakna pro perang masih relatif sedikit. Para ahli pun mengatakan bahwa jumlah sukarelawan yang bergabung hanya sedikit.

Menurut analis militer Pavel Luzin, orang-orang ini tidak siap mengorbankan diri untuk presiden mereka.

"Masalah yang dihadapi Kremlin adalah kebanyakan orang Rusia tidak akan mati demi Putin atau demi memulihkan 'kekaisaran yang agung'. Perekrutan tidak mungkin dilakukan saat ini karena tidak ada konsensus sipil di Rusia untuk perang,” terangnya.

"Bandingkan ini dengan situasi di Ukraina. Orang-orang Ukraina siap bertarung,” tukasnya.

 sinpo

Komentar: