Tagih Janji Gubernur, KRMP Desak Anies Cabut Pergub Penggusuran

Laporan: Zikri Maulana
Kamis, 04 Agustus 2022 | 15:23 WIB
KRMP di Balai Kota DKI (SinPo.id/Zikri)
KRMP di Balai Kota DKI (SinPo.id/Zikri)

SinPo.id - Koalisi Rakyat Menolak Penggusuran (KRMP) mengirimkan surat permintaan audiensi kepada Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta hari ini, Kamis 4 Agustus 2022.

KRMP yang terdiri dari warga Jakarta bersama jaringan masyarakat sipil lainnya serta mahasiswa, menyerahkan surat tersebut untuk menuntaskan dan menagih janji Anies Baswedan selaku Gubernur Provinsi DKI Jakarta.

"Kami di sini meminta Bapak Anies untuk menindaklanjuti bagaimana proses pencabutan Pergub Nomor 207 Tahun 2016 tentang Penerbitan Pemakaian/Penguasaan Tanah Tanpa Izin yang Berhak," kata Jihan Fauziah perwakilan KRMP, di Balai Kota Jakarta.

Jihan menuturkan, pihaknya telah berulangkali mengirimkan surat permohonan audiensi tersebut.

Pertama, Pada tanggal 10 Februari, KRMP telah mengirimkan Surat Nomor : 01 SK.KRMP/II/2022 perihal Permohonan Pencabutan Pergub DKI 207/2016, yang ditindaklanjuti dengan audiensi bersama Tim Gubernur Untuk Percepatan Pembangunan (TGUPP), Biro Hukum DKI dan Asisten Pembangunan pada 25 Maret 2022.

Selain itu, kata Jihan, di tanggal 6 April, KRMP juga melakukan audiensi langsung dan Anies memberikan moratorium untuk tidak dilakukan penggusuran dulu.

"Pokoknya dari hasil audiensi itu ada berita acara yang menyatakan bahwa Anies berkomitmen untuk mencabut Pergub tersebut," kata Jihan.

"Selain mencabut itu, selama prosesnya, sampai ada ketentuan atau kepastian akan dilakukan moratorium. Supaya tidak dilakukan penggusuran di kampung-kampung di DKI Jakarta," tambahnya.

Kemudian, di tanggal 6 Juni lalu, KRMP kembali memberikan surat ke Anies. Untuk meminta tindak lanjut dari pencabutan Pergub ini.

"Sampai hari ini lagi-lagi belum ada respon yang signifikan bagaimana sebenarnya upaya pencabutan Pergub 207/2016," tutur Jihan.

Adapun alasan KRMP mendesak Pemprov DKI Jakarta untuk mencabut Pergub DKI 207/2016 karena alasan-alasan berikut:

1. mayoritas penggusuran dilakukan tanpa musyawarah dengan penggunaan aparat tidak berwenang seperti TNI, adanya intimidasi dan kekerasan, pembangkangan terhadap upaya hukum, hingga pelanggaran hak masyarakat untuk memperoleh hak atas tanah.

2. adanya sengketa/konflik lahan dengan pihak korporasi dan pemerintah yang memiliki akses luas terhadap hukum, berhadapan dengan masyarakat miskin kota yang termarjinalkan.

3. Pergub DKI 207/2016 menjadi bentuk penggunaan kekuasaan dalam penyelesaian konflik alih-alih menempuh prosedur hukum dan hak asasi manusia.

4. Selain melanggar UU TNI, Pergub DKI 207/2016 telah melanggar ketentuan pada Kovenan Ekosob karena tidak memberikan jaminan perlindungan dan pemenuhan terhadap hak atas perumahan dengan membenarkan tindakan penggusuran paksa, UU 48/200 tentang Kekuasaan Kehakiman karena penggusuran paksa dapat dilakukan tanpa melalui proses pembuktian kepemilikan di Pengadilan, serta UU 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah karena bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, kepentingan umum, dan/atau kesusilaan.

5. Pergub DKI 207/2016 juga telah melanggar asas-asas umum pemerintahan yang baik, sebab tidak adanya kepastian hukum dalam proses pembuktian kepemilikan dalam hal terjadi sengketa tanah, terlanggarnya asas kemanfaatan karena melegitimasi penggusuran paksa dan membuka ruang bagi penggunaan kekerasan oleh aparat maupun pihak ketiga yang tidak memiliki kepentingan dan kewenangan, serta melanggar asas ketidakberpihakan karena hanya melihat dari sudut pandang pemohon penerbitan dan sama sekali tidak membuka ruang bagi warga yang terdampak untuk membela diri dan kepentingannya.

 

BERITALAINNYA
BERITATERKINI