MK Tolak Ganja Medis, DPR dan Pemerintah Harus Duduk Bareng

Laporan: Tri Setyo Nugroho
Kamis, 21 Juli 2022 | 08:34 WIB
Anggota Komisi III DPR RI, Taufik Basari (Instagram)
Anggota Komisi III DPR RI, Taufik Basari (Instagram)

SinPo.id - Mahkamah Konstitusi (MK) telah membacakan putusan Putusan Nomor 106/PUU-XVIII/2020 terkait pengujian UU Narkotika terhadap UUD 1945 yang meminta dibukanya pemanfaatan Narkotika Golongan I untuk pelayanan Kesehatan.
 
MK menolak permohonan Uji Materil tersebut dan menyatakan pasal-pasal yang diuji, yaitu penjelasan Pasal 6 ayat (1) huruf a dan Pasal 8 ayat (1) UU Narkotika konstitusional dan menyatakan materi yang diujikan adalah kebijakan hukum terbuka atau open legal policy. Sehingga menjadi kewenangan pembuat undang-undang dalam merumuskan kebijakannya serta menegaskan agar pemerintah segera melakukan pengkajian dan penelitian terhadap jenis narkotika golongan I untuk keperluan pelayanan kesehatan dan/atau terapi.

Menanggapi hal tersebut, Anggota Komisi III DPR RI Taufik Basari mengatakan, narkotika untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan atau terapi MK menyatakan hal tersebut merupakan kewenangan pembentuk undang-undang atau open legal policy. Hal ini diserahkan kepada pembentuk undang-undang tersebut untuk menindaklanjutinya.

"Termasuk dalam hal ini dimungkinkannya perubahan undang-undang oleh pembentuk undang-undang guna mengakomodir kebutuhan dimaksud," kata Taufik dalam keterangannya, Kamis, 21 Juli 2022.

Politisi Nasdem ini berpandangan, Pemerintah dan DPR wajib menindaklanjuti pertimbangan Putusan MK tersebut dengan menjadikan materi tentang pemanfaatan ganja sebagai layanaan kesehatan atau terapi dalam pembahasan revisi UU Narkotika yang sedang berlangsung. Untuk mendukung pembahasan tersebut maka pemerintah segera melakukan pengkajian dan penelitian terhadap kebutuhan dimaksud.

"MK memberikan penekanan pada kata 'segera' dalam putusannya dengan memberikan huruf tebal menunjukkan urgensi terhadap hasil pengkajian ini," jelasnya.

Untuk menindaklanjuti urgensi kajian pemerintah, Taufik menyarankan, pemerintah juga merujuk pada kajian yang telah ada di tingkat internasional termasuk kajian dari Expert Committee on Drugs Dependence (ECDD) yang pada tahun 2019 merekomendasikan kepada the Commission on Narcotics Drugs (CND) yang dibentuk UN Ecosoc dan WHO untuk menjadikan cannabis atau ganja sebagai golongan narkotika yang dapat digunakan untuk pelayanan kesehatan. Caranya dengan mengubah Convention on Narcotics Drugs tahun 1961 dan telah disetujui melalui mekanisme voting di CND. 

"Dengan demikian, kajian dapat dilakukan dengan segera sesuai penegasan putusan MK," ucapnya.
 
Dalam hal pembahasan materi ini pada revisi UU Narkotika, merujuk pada pertimbangan hukum Putusan MK maka dapat dilakukan pengaturan yang komprehensif. Pelarangan, pengendalian dan pemanfaatan narkotika jenis tertentu untuk kepentingan medis dapat dimuat normanya dalam UU sementara ketentuan teknis lainnya dapat diatur dalam aturan turunannya sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan yang terus berjalan.

"Dengan begitu maka beberapa narkotika yang memiliki sifat ketergantungan tinggi tetap bisa dikontrol dengan ketat sembari dimanfaatkan untuk pelayanan kesehatan dengan mekanisme yang ketat pula," ucap Taufik.
 
Masalah yang dihadapi para Pemohon uji materil di MK, sambungnya, terutama Santi dan Dwi Pertiwi serta peristiwa yang pernah dialami Fidelis beberapa tahun lalu terkait penggunaan ganja untuk kebutuhan terapi yang mungkin dialami berbagai orang lainnya. Ini merupakan masalah kemanusiaan yang perlu dicari solusi dan jalan keluarnya.

"Oleh karena itu langkah segera pasca Putusan MK ini harus dilakukan dengan tetap berpikiran terbuka dan berpedoman pada perkembangan ilmu pengetahuan," tandasnya.
 sinpo

Komentar: