Banyak Pelanggaran HAM Dalam Stranas Bisnis, Pemerintah Harus Melek!

Laporan: Bayu Primanda
Kamis, 14 Juli 2022 | 10:42 WIB
Ilustrasi/pixabay
Ilustrasi/pixabay

SinPo.id -  Pemerintah tidak bisa lagi menutup mata akan rentannya pelanggaran HAM dalam sektor bisnis di Indonesia. Setidaknya, terdapat tiga sektor bisnis yang rentan pelanggaran HAM pada pekerjanya dan aspek lingkungan.

Ketiga sektor tersebut adalah akuakultur (budidaya perikanan), pertambangan, dan kehutanan.

Memang, dewasa ini pertambangan, perikanan, dan perhutanan adalah tiga sektor vital yang menyangga perekonomian Indonesia. Namun ketiganya rentan pelanggaran HAM bagi sosial, ekonomi dan lingkungan, apabila dikelola tanpa standar-standar HAM dalam bisnis.

Pertambangan dan perhutanan pun masuk dalam tiga sektor prioritas dalam RANHAM 2021-2025.

Direktur Ekskutif BAKUMSU, Tongam Panggabean menjelaskan bahwa di Sumatera Utara, konflik kehutanan terjadi akibat implikasi dari SK Menteri Kehutanan No. AK.579/Menhut-II/2014 tentang Kawasan Hutan Provinsi Sumatra Utara dan pemberian konsesi Hutan Tanaman Industri kepada PT Toba Pulp Lestari.

Dalam SK tersebut, alokasi perizinan hutan adalah 40,460,000 hektar untuk perusahaan. Kemudian 1,740,000 hektar untuk masyarakat, dan 41,200 ha untuk kepentingan umum.

“Hal ini menunjukan kesenjangan yang sangat tinggi dalam sektor kehutanan”, kata Tongam dalam sebuah diskusi yang digelar INFID sebuah organisasi masyarakat sipil yang berjuang untuk pembangunan Indonesia sejak 1985, pada Rabu, 13 Juli 2022.

Di sektor tambang misalnya, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mencatat realisasi penerimaan negara dari sektor pertambangan mineral dan batu bara atau minerba per 6 September 2021 tembus Rp 42,36 triliun atau 108,33 persen dari target tahun 2021.

Sayangnya, suburnya penghasilan sejalan dengan suburnya praktik pelanggaran HAM di dalamnya. Sektor pertambangan dengan keragaman komoditi mineral terus menambah daftar riwayat negatif pada perlindungan HAM.

"Kasus Kendeng dan kasus Wadas di Jawa Tengah adalah fenomena mutakhir bagaimana daftar riwayat negatif itu terus memanjang," kata Tongam

Di beberapa tempat, kerentanan HAM datang dari bahaya lubang tambang, penggusuran lahan, pelanggaran hak ulayat, pengabaian komunitas lokal, hingga pengabaian dampak sosial ataupun lingkungan dari praktik ekstraksi.

Tongam juga melihat bahwa sejumlah pasal justru memberi ruang terjadinya ‘kriminalisasi berlebih’ pada orang-orang yang seharusnya dilindungi hukum.

"Dalam konteks ini masyarakat adat dan warga lokal adalah dua pihak yang mungkin paling terdampak. Direktorat Penanganan Konflik Tenurial dan Hutan Adat-PKTH tahun 2019 mencatat bahwa sebagian besar konflik terjadi antara perusahaan versus masyarakat, kemudian disusul oleh konflik pemerintah versus masyarakat," jelas dia.

BERITALAINNYA
BERITATERKINI