Krisis Sri Lanka Berisiko Memicu Pelarian Modal Pasar Surat Utang Indonesia
SinPo.id - Meskipun hubungan dagang antara-Indonesia dan Sri Lanka terbilang kecil, namun persepsi investor dan kreditur akan menganggap negara berkembang atau lower middle income country memiliki risiko yang tinggi.
"Indonesia dan Sri Lanka sama-sama negara lower middle income countries. Jadi, krisis di Sri Lanka juga berisiko memicu pelarian modal dari pasar surat utang di Indonesia," kata Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Bhima Yudhistira, kepada SinPo.id, Senin (11/7/2022).
Menurutnya, kondisi utang Indonesia saat ini perlu mendapat perhatian disaat pemerintah justru menambah pinjaman baru untuk mendorong realisasi proyek infrastruktur yang sebenarnya belum urgent. Padahal utang bertambah Rp 2.485 triliun sejak bulan Maret 2019 sampai Maret 2022, yang tidak hanya disebabkan oleh pandemi.
"Struktur utang pemerintah masih berat digunakan ke belanja pegawai, belanja barang dan belanja pembayaran bunga utang. Artinya, utang habis untuk pengeluaran birokrasi pemerintahan. Ini, kan, tidak produktif," kata Bhima.
Tak hanya itu, risiko kenaikan suku bunga dan inflasi juga dapat membuat beban utang luar negeri semakin berat. Menurut data ADB, yield SBN tenor 10 tahun telah alami kenaikan sebesar 102.9 basis poin sejak awal tahun menjadi 7.41%.
"Kreditur akan memaksa agar bunga utang semakin tinggi sebagai kompensasi dari naiknya inflasi, dan ini merupakan situasi yang sangat buruk bagi pengelolaan utang pemerintah," pungkasnya

