Firli Kabarnya Sempat Temui Novel Baswedan Sebelum TWK, Ada Apa?
SinPo.id - Mantan penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Novel Baswedan mengaku bahwa dirinya sempat ditemui Ketua KPK Firli Bahuri pada 25 November 2020 lalu.
Dalam pertemuan itu, Novel menyebut Firli meminta dirinya agar tidak terus menyerangnya, hal itu berkaitan dengan Operasi Tangkap Tangan (OTT) kasus dugaan suap ekspor benih lobster.
Pernyataan itu disampaikan Novel saat bersaksi di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta, pada persidangan perkara gugatan administratif tes wawasan kebangsaan (TWK) pegawai KPK, Jumat (1/7).
"Saya menyampaikan itu dalam keterangan saya sebagai saksi di PTUN Jakarta. Pernyataan dari Firli tersebut, yang bersangkutan merasa bahwa adanya OTT tersebut menyerang yang bersangkutan," ujar Novel kepada wartawan di Jakarta, Senin (4/7).
Novel menegaskan pernyataannya itu bukan tanpa dasar, mengingat dalam beberapa waktu berikutnya ada dua perkara besar yang ditangani KPK, yaitu kasus OTT Bantuan sosial (Bansos) dan perpajakan.
Kejadian tersebut, kata Novel, yang melatarbelakangi adanya norma Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) untuk menyingkirkan pihak tertentu yang bekerja di KPK.
"Kejadian itu kemudian disikapi oleh Firli dkk dengan menyelundupkan norma mengenai tes TWK pada draf Peraturan Komisi (Perkom) yang kemudian digunakan oleh Firli dkk sebagai dasar penyingkiran pegawai KPK tertentu," ucapnya.
Pembuatan TWK pada Perkom sebenarnya telah selesai dan sudah di upload dalam portal KPK pada bulan November 2020. Hal itu dipertegas oleh temuan Komnas HAM dan Ombudsman RI yang menggambarkan adanya kejanggalan.
"Mengingat ketentuan di KPK, bila akan membuat peraturan, draf final harus di upload dalam portal KPK," ungkap Novel menambahkan.
Kemudian, lanjut Novel, pada 26 Januari 2021 Firli sendiri yang melakukan harmonisasi dengan Menteri Hukum dan HAM (Menkumham). Padahal seharusnya itu dilakukan pada tataran teknis.
Novel menyebut perbuatan Firli itu dibantu Kepala Biro Hukum KPK yang menandatangani berita acara harmonisasi, padahal sebenarnya yang bersangkutan tidak datang dalam acara tersebut.
"Kemudian tanggal 27 Januari 2021, Perkom langsung disahkan dan masuk dalam lembaran negara. Proses yang janggal dan kilat, menggambarkan ada keadaan yang tidak wajar atau bisa dikatakan sebagai persekongkolan," kata Novel.
Setelah itu, lanjut Novel, proses TWK yang dijadikan alasan untuk penyingkiran dilakukan dengan banyak masalah administrasi didalamnya. Hal ini juga sudah dibeberkan oleh Komnas HAM dan Ombudsman RI bahwa TWK melanggar HAM dan maladministrasi.
"Semuanya sudah disampaikan ke sidang pengadilan. Semua itu juga sudah menjadi temuan dari Komnas HAM dan Ombudsman RI," pungkasnya.

