Tak Ada Lagi Cigar Mas Tjahjo

Laporan: Tri Bowo Santoso
Sabtu, 02 Juli 2022 | 06:20 WIB
Cuplikan layar WA Tjahjo Kumolo
Cuplikan layar WA Tjahjo Kumolo

SinPo.id -  Tahun 2005 adalah awal dari pengalaman saya bekerja sebagai jurnalis radio khusus feature di Voice of Human Rights. Di media besutan pegiat hak asasi manusia, mendiang Munir itu selalu mengedepankan kebebasan berpikir dan berekspresi. Jadi, semua isu yang akan dipublish lahir dari gagasan jurnalis itu sendiri. 

Biasanya saya selalu mencari inspirasi untuk tema feature yang harus dipresentasikan ke Redaktur setiap Senin melalui berbagai macam cara. Salah satunya adalah mendengarakan dialog narasumber di acara talk show "Polemik" yang diselenggarakan oleh Radio Trijaya di Mario's Place, Menteng dan terkadang di Plaza Semanggi setiap Sabtu pagi.

Kala itu hadir politisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Tjahjo Kumolo sebagai guest star dalam acara itu. Saya tak ingat nama moderator yang memandu acara itu. Tapi, yang tak lupa bagi saya adalah pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan ke Mas Tjahjo begitu tajam dan terkadang menjebak. 

Bila diibaratkan dengan pesilat, mungkin Mas Tjahjo bisa disejajarkan dengan Pitung. Pasalnya, Mas Tjahjo selalu tenang dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan menjebak dan pernyataan menyerang dari lawan bicara. Dengan narasi logis disertai senyumnya yang khas membuat audience yang hadir di acara talk show itu seolah terhipnotis.

Tak dinyana, saya berkesempatan makan siang sekaligus brainstorming dengan Mas Tjahjo usai acara tersebut. Adalah Dzikri Subhanie yang saat itu bekerja sebagai jurnalis Harian Rakyat Merdeka mengajak saya berjumpa dengan pria kelahiran Surakarta, 1 Desember 1957 itu. 

Meski saat itu adalah perjumpaan pertama saya dengan Mas Tjahjo, ternyata kala berjumpa kembali di kesempatan yang berbeda, ternyata suami dari Erni Guntarti itu tak lupa dengan nama saya. Pernah satu ketika politisi yang pernah bernaung di Partai Golkar itu menyapa saya saat berpapasan di depang Gedung Nusantara DPR-RI. Padahal, saya tak ada niatan untuk mewawancarai Mas Tjahjo. 

Saya baru menyadari bahwa sudah menjadi karakter dan kebiasaan ayah tiga anak itu ramah terhadap semua orang tanpa melihat latar belakangnya. 

Tahun 2007 saya sempat rehat dari dunia jurnalis, lantaran mendapat tantangan baru menjadi periset di perusahaan multinasional asal Malaysia bernama KRA Group. Awalnya saya sempat berpikir tak ada lagi kesempatan untuk berdiskusi dengan politisi, termasuk Mas Tjahjo mengingat saya sudah tak lagi menjadi jurnalis. Maklum, kebanyakan politisi di Indonesia mau dekat dengan jurnalis karena memiliki motivasi tertentu. Misalnya, ingin dipublish biar semakin dan selalu terkenal. Tapi, hal itu ternyata tidak berlaku untuk seorang Mas Tjahjo. 

Meskipun ia tahu profesi ku yang teranyar, Mas Tjahjo tetap merangkul ku sebagai sahabat, dan selalu merespon dengan cepat setiap SMS dan telepon dari saya. 

Pernah satu hari di pertengahan Juli tahun 2008, Mas Tjahjo mengudang saya ngopi di Starbuck, Mega Kuningan, Jakarta Selatan melalui pesan SMS. Seketika saya melajukan motor menembus kemacetan di daerah Kuningan yang membayangkan kroditnya saja sudah ogah.

Ternyata Mas Tjahjo sudah tiba di sana. Bahkan, pria yang didapuk dua kali jadi Menteri di era pemeritahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) itu sudah menyiapkan kopi untuk saya yang masih tersaji hangat di atas meja kecil berbentuk bulat.    

Selain kopi, Mas Tjahjo menyodorkan cerutu yang bentuknya tak biasa saya melihatnya. Tak panjang, tapi diameternya juga tidak besar. 

"Cigar dari Kuba itu sudah biasa Wo. Nah, ini dari Mexico. Dihisap sambil ngopi bisa memberi inspirasi," ujar Mas Tjahjo yang selalu ku ingat kala ngopi di waktu senja. 

Seingat saya, ada empat kali Mas Tjahjo mengundang ngopi di tempat yang sama, namun yang pasti cigar nya selalu berbeda. 

Juni 2009, saya bertugas mendampingi Karim Raslan yang tak lain dan tak bukan adalah Bos saya di KRA Group dan juga kolumnis di beberapa media Malaysia dan Singapura untuk mengikuti kampanye PDIP keliling Pulau Jawa melalui jalan darat. 

Tak disangka, saat berada di Surabaya, saya berjumpa dengan Mas Tjahjo. Ia-pun terlihat kaget dan menyapa saya. 

"Wo, dengan siapa?" tanya Mas Tjahjo.

"Saya bersama Karim Raslan, Bos saya yang juga kolumnis media Malaysia dan Singapura. Beliau ingin liputan guna bahan tulisannya," jawab saya.      

"Silahkan saja. Kalau ada sesuatu yang bisa saya bantu, bilang saja," ujar Mas Tjahjo. 

Usai liputan road show PDIP keliling Pulau Jawa, saya tak lagi berkomunikasi dengan Mas Tjahjo. Belakangan ini seingat saya ada tiga kali menyapanya melalui WA. Pertama, memberi ucapan selamat ketika ia didapuk menjadi Mendagri pada 2014 silam. Kedua, 31 Januari 2021 hanya sekedar menanya kabar. Dan terakhir 2 Desember 2021 mengucapkan selamat hari ulang tahun. 

Semua sapaan saya melalu WA selalu direspon cepat oleh Mas Tjahjo tanpa menunggu berjam-jam.

Kini Mas Tjahjo tak bisa lagi disapa melalui alat komunikasi, tapi hanya lantunan doa yang bisa disampaikan. 

Sebagaimana kata "Merdeka" yang kerap dipekikannya, Mas Tjahjo benar-benar sudah "Merdeka" dari penyakit infeksi paru yang dideritanya. Sang Khalik-pun sudah menyiapkan tempat terindah di Surga untuk Mas Tjahjo. Tapi, saya yakin di Sana tak tersedia cigar. Selamat jalan Mas Tjahjo.  sinpo

Komentar: