Program APBN 2018, Jangan Dijadikan Untuk Kampanye Pencitraan
Jakarta, sinpo.id - Heri Gunawan selaku Anggota Komisi XI DPR RI mengingatkan agar anggaran negara yang tertuang dalam bentuk program-program di APBN 2018 tidak digunakan pemerintah untuk ajang pencitraan politik. Sebab, anggaran tersebut milik rakyat bukan penguasa.
"Penting sekali mengingatkan Pak Jokowi (Presiden) untuk tetap fokus dan konsisten melaksanakan APBN 2018 sebagai tugas konstitusionalnya demi sebesar-besarnya pencapaian target pembangunan,” paparnya.
Ia pun menambahkan, jangan sampai seluruh program yang ada disulap menjadi "alat" penguatan basis-basis politik dan sarana kampanye pencitraan. Apalagi Pak Jokowi sebagai incumbent diperkirakan akan maju sebagai Calon Presiden 2019. Ingat itu uang milik rakyat bukan penguasa. Menurutnya, tahun 2018 adalah tahun politik dan tahun yang sangat krusial menjelang Pileg dan Pilpres serentak 2019.
"Sudah jadi "rahasia umum" bahwa tahun tersebut sarat dengan agenda politik praktis. Bagi petahana, tentu agenda besarnya adalah mempertahankan kekuasaan. Tak heran, jika APBN berpotensi besar disulap menjadi anggaran pemenangan politik, program-program disetir untuk penguatan basis-basis politik tertentu, sehingga tak lagi murni untuk mencapai target pembangunan," ujar Ketua DPP Partai Gerindra itu.
Sekarang saja hanya untuk membagi sertifikat tanah, Jokowi harus turun langsung. Padahal, bagi-bagi sertifikat tanah adalah pekerjaan yang terlalu teknis untuk ukuran Presiden. Pekerjaan demikian cukup oleh aparatur teknis di bawahnya, atau, setidak-tidaknya sekelas Menteri, Gubernur, atau Bupati/walikota setempat.
"Terlalu mencolok pencitraannya kalau sampai harus sekelas Presiden yang turun langsung. Ketimbang bagi-bagi sertifikat tanah, masih lebih baik presiden memikirkan tentang potensi dikuasainya tanah rakyat oleh pemodal besar. Atau misalnya, memikirkan solusi atas keluhan aparat desa yang muncul akibat ditiadakannya polorogo. Namun, saat ini rakyat sudah makin cerdas dan bisa dengan mudah membedakan mana yang sungguh-sungguh bekerja dan mana yang pencitraan,” ungkap Politisi Gerindra ini.
Ia pun memperkirakan bahwa pada tahun 2018 nanti, hal serupa akan terus terjadi bahkan mungkin lebih masif. Menurutnya, Jokowi sebagai Presiden akan larut dalam kegiatan yang sangat teknis dan seharusnya bukan ranahnya. Sebab, ada aparat teknis yang memang porsinya disitu.
"Kalau sampai harus Presiden yang menangani semuanya, maka bisa-bisa aparat yang bertugas mengurusi hal-hal teknis akan libur. Padahal, mereka sudah digaji rakyat," pungkasnya.
Kalaupun itu adalah kegiatan kampanye, kata dia, maka ada saatnya, ada rulesnya.Yang jadi pertanyaan kan, aturannya saja belum dibahas. Heri pun menegaskan, jadi tak elok jika seorang yang sedang menjabat Presiden berkampanye untuk jadi Calon Presiden. Jokowi masih Presiden, dan karena itu, dia terikat dengan perintah konstitusional yang tidak ringan.
"Jangan sampai waktunya tersita hanya untuk bagi-bagi sertifikat tanah atau wara-wiri di lokasi proyek," sindir Heri.
Beliau mengatakan, Presiden itu punya tugas untuk berpikir dan memastikan pembantu-pembantunya bekerja dengan baik dan have a good perform untuk sebesar-besarnya memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, melindungi segenap bangsa Indonesia, serta terlibat aktif dalam menjaga ketertiban dunia. Apalagi, saat ini banyak PR besar yang masih terkatung-katung.
"Utang negara yang sudah mencapai Rp3.779, ketimpangan ekonomi yang mencapai 0,39; kemiskinan yang mencapai angka 27,77 juta jiwa, rata-rata anak bersekolah yang masih di bawah 8 tahun, ancaman disintegrasi, bahaya bangkitnya PKI, sampai tragedi krisis kemanusiaan Rohingya. Itu adalah tugas berat yang dipikul Presiden, dan itu tak bisa dijawab dengan masuk-keluar got," tutup Anggota DPR RI dapil Jabar VI ini.

