Awas, Biaya Isi Ulang "e-Money" Bisa Jadi Blunder
Jakarta, sinpo.id - Terkait rencana sistem pembayaran non-tunai yang akan diterapkan di seluruh ruas tol kelolaan Jasa Marga. Bank Indonesia akan segera merilis aturan pengenaan biaya isi ulang e-money tersebut dalam bentuk Peraturan Bank Indonesia (PBI).
Disebut, besaran biaya isi ulang yang ditetapkan kepada konsumen berkisar antara Rp 1.500 hingga Rp 2.000 per transaksi.
Pengenaan biaya isi ulang e-money disebut untuk memberikan insentif kepada perbankan, sehingga dapat dialokasikan untuk memperbanyak infrastruktur pembayaran uang elektronik.
Menanggapi hal tersebut, anggota Komisi XI Heri Gunawan menilai bahwa pengenaan biaya isi ulang uang elektronik bisa mencuatkan kisruh. "Selain bertentangan dengan semangat dan visi cashless society yang gencar disosialisasikan BI, juga karena hal tersebut akan memberatkan rakyat," terangnya melalui keterangan tertulisnya, Senin (18/9/2017).
Pengenaan biaya isi ulang uang elektronik ini disebut kontra-produktif dengan semangat Gerakan Nasional Non Tunai (GNNT) menuju cashless society. Hal tersebut bertujuan untuk mewujudkan sistem pembayaran yang transparan, efisien, aman, minim risiko dan dapat meminimalisir tindakan penipuan.
Meskipun kebijakan tersebut untuk mengatur agar biaya lebih murah ketimbang saat melakukan pengisian di merchant, tapi BI sebagai regulator, menurut Heri bisa berpihak ke masyarakat dan menghindarkan merekadari potensi pungutan pembayaran dari setiap pengisian ulang uang elektronik.
Sebenarnya, aturan tersebut bisa jadi pintu masuk bagi BI untuk memfasilitasi animo masyarakat yang makin aktif menggunakan uang elektronik. Tercatat, tahun ini transaksi dengan menggunakan uang elektronik telah mencapai 58 juta transaksi, dengan nilai berkisar Rp 1,1 triliun.
"Kalau ada biaya isi ulang justru jadi blunder yang berhujung pada distrust. Sebab masyarakat yang harusnya mendapat insentif dari kelibahan-kelebihan e-money justru mendapat disinsentif," papar Heri.

