Ini Pandangan Heri Gunawan Terkait Asumsi Makro Pertumbuhan Ekonomi 2018

Redaksi
Kamis, 14 September 2017 | 15:42 WIB
Heri Gunawan
Heri Gunawan

Jakarta, sinpo.id - Anggota Komisi XI DPR RI Heri Gunawan mengemukakan pandangannya terkait asumsi makro yang telah ditetapkan pemerintah. Menurutnya, pemerintah tetap harus berhati-hati dalam mengambil sebuah kebijakan, saat sudah dipatoknya pertumbuhan ekonomi di angka 5,4 persen dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2018.

Politikus Gerindra ini melihat ada beberapa risiko yang hampir permanen dan perlu diwaspadai oleh pemerintah. Selain proteksionisme, rebalancing ekonomi yang sedang melanda China juga patut diwaspadai.

"Belum lagi dollar AS yang cenderung menguat, yang memicu arus modal negara berkembang, harga komoditas lemah, risiko geopolitik serta isu-isu struktural seperti penuaan populasi, itu harus diperhatikan," ujarnya melalui keterangan tertulis, Kamis (14/9/2017).

Walau pemerintah mengatakan ekonomi negara ini sedang tumbuh, tetapi tetap saja pertumbuhan itu masih berada di bawah ekspektasi. Lihat saja sektor pertanian, industri pengolahan dan perdagangan tumbuh melambat, dan untuk konsumsi rumah tangga pertumbuhannya hanya berada di angka 4,95 persen.

Memang sangat sulit untuk menembus angka tersebut. Diperlukan kerja ekstra keras dengan menaikan konsumsi di atas 5 persen, pertumbuhan investasi di atas 6,5 persen dan sektor perbankan harus memiliki pertumbuhan kredit di atas 15 persen.

Saat masih adanya program pengampunan pajak saja, hanya bisa menutup pendapatan sebesar sekitar Rp 100 triliun. Sedangkan saat ini kita sudah tak punya program seprti itu lagi yang dapat mendongkrak pendapatan negara. Belum lagi bicara short fall pajak sebesar Rp 60 triliun - Rp 70 triliun, yang harus tetap jadi bahan pertimbangan.

"Saya melihat angka (pertumbuhan ekonomi) 5,3 persen adalah angka yang dianggap realistis untuk suatu pemerintahan yang bisa dianggap kurang punya etos kerja yang kuat, serta perlu jaminan dari pemerintah jika pertumbuhan tersebut tidak tercapi, jangan sampai ada pemotongan anggaran lagi untuk daerah," terang Heri.

Heri menambahkan, hal lain yang perlu diperhatikan adalah bahwa pertumbuhan ekonomi tersebut harus memiliki miltiplier effect. Jika melihat angka gini ratio sebesar 0,38 persen, maka ia menilai pertumbuhan yang ada masih dinikmati oleh segelintir kalangan saja.

Belum lagi bicara inflasi tahun depan yang dipatok di angka 3,5 persen. Menurut Heri, pemerintah terlalu optimis dalam menetapkan asumsi inflasi ini.

Mari kita telaah, jika kita baca tingkat inflasi tahun ke tahun (Juli 2017 terhadap Juli 2016), pertumbuhan inflasi masih bertengger di angka 3,88 persen. Artinya menurut Heri, meski administered prices dan volatile food tercatat menurun dan penyesuaian tarif listrik untuk pelanggan daya 900 volt ampere (VA) telah selesai, pemerintah hanya mampu menurunkan 0,12 persen dari angka 4 persen.

Selain itu, nilai tukar rupiah juga menjadi sorotan Heri. pemerintah awalnya mengajukan nilai tukar rupiah pada tahun depan di angka Rp 13.500, kemudian disepakati menjadi Rp 13.400. Angka itu menurut Heri masih terlampau tinggi.

"Meski sampai saat ini kita masih tetap dibayangi oleh situasi geopolitik di Timur Tengah, tapi dengan naiknya investment grade harusnya bisa memberi daya tarik positif. Asalkan, pemerintah mau kerja ekstra keras. Sebab, tanpa kerja ekstra keras, situasinya akan sama saja," terangnya.

Masih terkait asumsi makro pertumbuhan ekonomi 2018, ada pernyataan menarik dari Heri Gunawan. Dengan suku bungan Surat Perbendaharaan Negara (SPN) yang semula diusulkan 5,3 persen, kemudian ditetapkan menjadi 5,2 persen, dengan asumsi meningkatnya invesment grade pemerintah, hal tersebut dapat berpotensi mengakibatkan ketatnya likuiditas.

"Disaat BI Rate (suku bunga acuan) berada di kisaran 4,5 persen, belum berbanding secara signifikan terhadap pertumbuhan kredit. Jika itu masih terjadi maka akan berdampak negatif pada sektor riil. Padahal pemerintah sedang dalam tahap memperdalam sektor keuangan sebagai tulang punggung pembangunan," paparnya.

Kesimpulan yang ia dapat dari target pembangunan, Heri  menyoroti betul soal target ketimpangan ekonomi sebesar 0,38 yang masih terbilang besar dalam RAPBN 2018. Angka tersebut masih tetap 'lampu kuning'. Dengan angka tersebut berarti bahwa ketimpangan masih tetap lebar, yaitu 1 persen orang menguasai sekitar 38 persen pendapatan nasional.

"Selanjutnya, kemiskinan yang masih tetap jadi momok. Bagaimana pemerintah memecahkan hal tersebut, berapa kesempatan kerja baru yang tercipta. Sampai hari ini angkanya masih terbilang rendah, yaitu di mana tiap 1 persen pertumbuhan ekonomi hanya mencipta 40.000 kesempatan kerja baru," pungkas Heri Gunawan.

BERITALAINNYA
BERITATERKINI