Kasus Mafia Pelabuhan, Kejagung Periksa Pejabat Bea Dan Cukai Kanwil Jateng
SinPo.id - Kejaksaan Agung (Kejagung) kembali melakukan pemeriksaan saksi pada perkara dugaan tindak pidana korupsi penyalahgunaan fasilitas Kawasan Berikat dan Kemudahan Impor Tujuan Ekspor (KITE) pada Pelabuhan Tanjung Priok dan Tanjung Emas tahun 2015-2021.
Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung Ketut Sumedana menjelaskan tim Jaksa penyidik memeriksa saksi dengan inisial ATS selaku Kabid Fasilitas Pabean Bea dan Cukai Kantor Wilayah (Kanwil) Jawa Tengah (Jateng).
"Tim Jaksa Penyidik pada Direktorat Penyidikan Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus (JAM PIDSUS) Kejaksaan Agung melakukan pemeriksaan terhadap 1 (satu) orang saksi," kata Kapuspenkum Kejagung Ketut Sumedana dalam keterangan tertulis yang diterima pada Jumat (18/3).
Ketut mengungkapkan, pemeriksaan saksi dilakukan untuk memperkuat pembuktian dan untuk melengkapi pemberkasan dalam perkara tersebut.
Sebelumnya, dalam kasus ini, pada Selsa (15/3) tim jaksa penyidik juga telah memeriksa dua orang sebagai saksi yaitu DSL selaku Kasubdit Fasilitas Impor Tujuan Ekspor (KITE) di Kantor Pusat dan BNTP selaku Mantan Direktur Keberatan Banding dan Peraturan.
Dalam pengembangan perkara ini, Kejagung telah melakukan pencekalan kepada Sembilan orang untuk melakukan perjalanan keluar Indonesia (keluar negeri) sejak tanggal 07 Maret 2022 selama 6 (enam) bulan, karena dugaan keterlibatannya pada kasus korupsi tersebut.
Ketut menjelaskan, selain itu pencekalan juga dimaksudkan demi mempermudah kepentingan proses penyidikan dalam rangka pemeriksaan guna menggali informasi terkait perkara dimaksud.
Kasus ini bermula dilakukan di kawasan Berikat PT HGI Semarang, Jawa Tengah terkait impor bahan baku tekstil dari China melalui Pelabuhan Tanjung Priok Jakarta dan Tanjung Emas Semarang.
Tindak pidana korupsi itu diduga melibatkan oknum Bea dan Cukai pada Kantor Kanwil Jateng dan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) serta Kantor Pelayanan Semarang pada Bidang Fasilitas Pabean dan P2.
Hal itu terkait penjualan bahan baku tekstil impor PT HGI yang seharusnya diolah menjadi barang jadi dalam Kawasan Berikat dan dilakukan ekspor, tetapi impor bahan tekstil tersebut tidak dilakukan pengolahan di dalam Kawasan Berikat, namun dilakukan penjualan di dalam negeri sehingga mengakibatkan kerugian ekonomi atau keuangan negara.

