Presiden 3 Periode Sah-sah Saja, Tapi Secara Etik Jauh Dari Moralitas

Laporan: Khaerul Anam
Minggu, 13 Maret 2022 | 15:30 WIB
Sekretaris Umum PP Muhammadiyah, Abdul Mu'ti/net
Sekretaris Umum PP Muhammadiyah, Abdul Mu'ti/net

SinPo.id - Perdebatan tentang wacana penundaan Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 terkait perpanjangan masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden terus menguat dalam beberapa hari terakhir.

Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Abdul Mu’ti mengatakan wacana tiga periode bisa dilakukan secara formal-konstitusional, tetapi secara etika jauh dari moralitas konstitusi. 

Menurut Abdul Mu’ti didalam penjelasan umum tentang Undang-Undang Dasar (UUD) Indonesia 1945 disebutkan bahwa pasal-pasal konstitusi tidak bisa dipahami secara terpisah dari teksnya saja. Tetapi juga harus dipahami terkait suasana kebatinannya.

“UUD negara manapun tidak bisa dimengerti jika hanya dibaca teksnya saja. Untuk mengerti sungguh-sungguh maksudnya UUD dari suatu negara, kita harus mempelajari bagaimana terjadinya teks itu, harus diketahui keterangan-keterangannya, dan harus diketahui dalam suasana apa teks itu dibikin,” kata Abdul Mu'ti dalam keterangan tertulisnya dikutip di Muhammadiyah.or.id, Minggu (13/3).

Abdul Mu'ti menjelaskan, penetapan masa jabatan Presiden dan Wakilnya selama dua periode dalam amandemen UUD 1945 tidak terlepas dari semangat reformasi yang tidak menghendaki seorang Presiden memimpin sangat lama.

“Karena ada preseden Bung Karno memimpin sangat lama kemudian ada Pak Harto yang juga memimpin sangat lama. Nah suasana kebatinan dan semangat reformasi ini adalah bagian tak terpisahkan dari lahirnya amandemen UUD 1945 khususnya terkait pasal yang berkaitan dengan masa jabatan presiden. Karena itu kalau kita mau bicara dari sisi teksnya saja, ya masih bisa ditafsirkan sana sini,” ungkapnya.

Di luar teks formal, lanjut Mu'ti, suasana kebatinan dan kejiwaan serta konteks yang menjadi latar belakang lahirnya pasal-pasal dalam amandemen UUD 1945 itu tidak boleh dilepaskan.

“Nah suasana kebatinan itu adalah jiwa dari suatu UUD. Suasana kebangsaan itu adalah ruh yang menjadi landasan mengapa sebuah UU itu disusun dan mengapa teks atau redaksinya itu berbunyi sesuai dengan di UUD itu,” tambahnya. 

Guru besar UIN Jakarta itu beranggapan, dari pemahaman yang utuh terhadap teks dan konteks penyusunan UUD, maka wacana hingga aksi amandemen UU untuk mewujudkan perpanjangan masa jabatan Presiden terbuka untuk dilakukan, tetapi melabrak norma kepatutan.

“Marilah kemudian kita meninggalkan legacy yang baik sebagai pendidikan dan keteladanan bagi putra-putri bangsa. Jangan sampailah bangsa kita terutama generasi muda ini mempelajari sejarah yang tidak baik dari para pemimpinnya," pungkasnya.

"Dan kemudian sejarah kita ini harus kita koreksi berkali-kali hanya untuk menyelamatkan seseorang yang mungkin orang itu sedang berkuasa, atau orang itu sedang turun dari kekuasaan,” tutupnya.

BERITALAINNYA
BERITATERKINI