Aryo Djojohadikusumo: Divestasi Saham Freeport Perlu Dipaparkan Pemerintah
Jakarta, sinpo.id - Aryo Djojohadikusumo selaku Anggota Komisi VII DPR RI, memberikan tanggapannya terkait Pidato Joko Widodo soal keberhasilan divestasi saham Freeport untuk Indonesia sebesar 51 persen dalam acara Rakernas Projo III di Sport Hall Kelapa Gading, Jakarta Utara, Senin (4/9?2017). Aryo mengungkapkan, keberhasilan Presiden dalam divestasi ini harus dipaparkan pada Komisi VII DPR RI.
“Pokoknya kita belum lihat detailnya, belum dipaparkan pada kami. Katanya sudah sukses, tapi kan kita masih menunggu. Lihat dulu yang sudah jelas dan sudah tertulis itu, lalu kita rapatkan segera untuk dipaparkan. Ini kita di Komisi VII sebagai mitra Kementrian ESDM, mengawasi semua mitra yang membidangi mineral pertambangan, hal tersebut harus kita awasi. Sedangkan perkara ini belum ada laporanya,” kata Aryo kepada sinpo.id, Rabu (6/9/2017) di Gedung DPR RI.
Sebelumnya, Presiden Jokowi dalam pidatonya ini mendeskripsikan, betapa alotnya proses negosiasi antara Pemerintah dengan Freeport. Perlu diingat, pada era Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) telah diterbitkan Peraturan-Peraturan Pemerintah, salah satunya UU 4/2009 yang menyangkut larangan ekspor mineral mentah ke luar negeri dan kewajiban perusahaan tambang mineral logam untuk membangun smelter, yang diikuti dengan terbitnya Peraturan Pemerintah (PP) 23/2010 dan PP 24/2012.
Dalam PP 23 dan PP 24 diatur mengenai divestasi saham pemegang izin usaha pertambangan yang sahamnya dimiliki oleh asing. Pasal 97 ayat 1, ditekankan bahwa pemegang IUP dan IUPK dalam rangka penanaman modal asing setelah 5 tahun berproduksi, wajib melakukan divestasi saham nya secara bertahap. Sehingga pada tahun ke 10 sahamnya paling sedikit 51 persen dimilki Indonesia, dan semestinya secara otomatis berlaku untuk Freeport.
Lanjutnya, Pemerintahan saat ini sangat berbeda dengan era Pemerintahan sebelumnya yang menghormati legislatif, maka hal tersebut dapat melambatkan kinerja legislatif.
“Ini bedanya Presiden kali ini dengan Presiden sebelumnya. SBY, Megawati itu semuanya menghormati legislatif. Namun yang kali ini, Pemerintah tidak membiarkan Menterinya rapat dengan legislatif, ini yang membuat pekerjaan kita terhambat,” tutupnya.

