Tetapkan JHT Cair Usia 56 Tanpa Libatkan Pekerja, Begini Kritikan Legislator Dan Pengamat
SinPo.id - Aturan baru terkait Jaminan Hari Tua atau JHT, melalui Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 2 Tahun 2022 tentang Tata Cara dan Persyaratan Pembayaran Manfaat JHT menuai kontroversi.
Aturan tersebut telah diteken pada 4 Februari 2022 lalu. Dalam aturan tersebut tertulis, manfaat JHT baru dapat diberikan kepada para pekerja saat sudah mencapai usia 56 tahun.
Hal itu berlaku bagi peserta Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) maupun pengunduran diri.
Mengomentari hal itu, Pengamat Indef Nailul Huda menduga ada permasalahan pada portofolio investasi BPJS Ketenagakerjaan. Sebab, selama ini masyarakat yang menarik hak JHT di BPJS Ketenagakerjaan sebesar 55 persen.
Apalagi dalam situasi pandemi yang masih berlangsung, sangat rentan bagi masyarakat terkena PHK maupun pengunduran diri.
“Sepertinya keuangan BPJS Ketenagakerjaan kurang baik portofolio investasinya. Ada masalah di keuangan Jamsostek. Karena 55 persen mengundurkan diri secara personal. Jadi mereka mengerem untuk pencairan JHT,” kata Nailul Huda, Sabtu (12/2).
Menurutnya, Nailul portofolio investasi BPJS Ketenagakerjaan sebaiknya dibuka. Sebab, dana para pekerja selama ini diolah dengan sistem bagi hasil pengelolaan investasi yang dilakukan oleh BPJS Ketenagakerjaan.
“Kalau itu kan bagi hasil investasi, tenaga kerja itu investasi (BPJS Ketenagakerjaan menginvestasikan dana) kemana saja dan bunganya diserahkan ke tenaga kerja,” tuturnya.
Sebelumnya, Politisi PAN Saleh Partaonan Daulay mengatakan, pemerintah jangan langsung menetapkan aturan sepihak tanpa mendengarkan masukan dari para pekerja.
"Itu kan uang mereka (pekerja), jadi seharusnya ini melibatkan mereka. Saya tidak tahu apakah ketika membuat aturan para pekerja diundang dan didengar masukannya atau tidak atau serikat pekerja gitu,” tanyanya.
Kalau pekerja saja tidak diundang, sambungnya, jelas itu sangat mengecewakan.
“Uangnya dipakai seperti itu, digunakan begitu dan belum ada penjelasan dan sudah keluar aturan, ini sangat mencederai juga dari sistem yang sudah ada," jelasnya.
Atas dasar itulah, Ketua Fraksi PAN DPR RI ini meminta agar pemerintah membuka ruang diskusi ke publik dengan melibatkan para pekerja. Jika nantinya ternyata terbukti merugikan, dia meminta agar pemerintah dalam hal ini Kemnaker mencabut Permenaker tersebut.
"Jika terbukti di public hearing atau diskusi publik ternyata para pekerja dirugikan, saya juga mendorong agar permenaker dicabut, aturan itu sifatnya permenaker itu lebih mudah dicabut dibanding aturan lebih tinggi di atasnya, masih terbuka ruang untuk diskusi publik," ujarnya.

