Burhanuddin Dorong Preshold Dihapus, Refly: Semoga MK Tak Berkelit Lagi

Laporan: Samsudin
Kamis, 06 Januari 2022 | 11:55 WIB
Gelora talk/ist
Gelora talk/ist

SinPo.id - Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia Burhanuddin Muhtadi mengatakan, penerapan presidential threshold tidak lazim digunakan di negara yang menganut sistem presidensial.

Apalagi dengan syarat calon presiden harus memenuhi 20 persen kursi di parlemen atau 25 persen suara sah secara nasional bagi partai maupun gabungan partai pengusungnya.

Persyaratan itu, ujar Burhanuddin, dinilai aneh karena bersifat pembatasan orang untuk maju sebagai calon presiden. Padahal, konstitusi tidak membatasinya.

"Presidential threshold itu aneh dan tidak lazim di negara lain. Tidak ada pembatasan yang ketat seperti di Indonesia untuk maju sebagai calon presiden. Bahkan di Amerika Serikat calon independent pun bisa maju sebagai calon presiden," ujar Burhanuddin, dalam Gelora Talk bertajuk ‘Menakar Reformasi Sistem Politik Indonesia, Apakah Mungkin Jadi Gelombang?’, Rabu (5/1).

Dia khawatir kalau ambang batas itu dinaikan lagi maka partai berbasis agama akan hilang sehingga berpotensi menimbulkan kerawanan politik.

"Jadi presidential threshold perlu dihapus. Parliamentary threshold diperlukan, tapi jangan terlalu tinggi karena bisa mengurangi pluralisme politik," ujar Burhanuddin.

Sementara itu, Pakar Hukum Tata Negara Refly Harun menilai gugatan soal penghapusan presidential threshold 20 persen menjadi 0 persen masih berpotensi di kabulkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK), jika melihat putusan soal Omnibus Law UU Cipta Kerja beberapa waktu lalu.

"Kita minta presidensial threshold dihapuskan karena tidak ada di konstitusi. Jadi para hakim konstitusi harus melihat dalil-dalil secara legalitas, bukan keterkaitan atau keterampilan dari komposisi hakim. MK tidak boleh lagi berkelit untuk tidak mengabulkannya, karena ini jauh lebih komprehensif," kata Refly Harun.

Sebelumnya, Ketua Umum Partai Gelora Anis Matta mengatakan, persyaratan presidential threshold (20 persen kursi DPR) telah menyebabkan polarisasi dan pembelahan tajam di tengah masyarakat, dan menghalangi munculnya potensi kepemimpinan nasional.

Bahkan, pemilu 2019 lalu yang banyak menelan korban jiwa dari penyelenggara pemilu akibat pelaksanaan pemilu serentak, dinilai menjadi catatan buruk dalam sejarah demokrasi di Indonesia. Sehingga perlu dilakukan koreksi besar-besaran selama pelaksanaan masa orde reformasi yang hampir seperempat abad atau 25 tahun.

“Persyaratan presidensial threshold (20 persen kursi DPR) menyebabkan polarisasi yang sangat tajam,” tegasnya.

Menurutnya, sistem tersebut berpengaruh pada penciptaan polarisasi yang sangat tajam, dan berujung pada pembelahan di masyarakat yang residunya masih ada hingga kini. Selain itu, pemberlakuan ambang batas (threshold) pada calon presiden dan parlemen juga dinilai Anis telah menghalang-halangi munculnya potensi kepemimpinan nasional.

“Sebab keberhasilan suatu demokrasi tidak diukur dengan persyaratan ambang batas, melainkan dari partisipasi masyarakat. Dan perlu diingat bahwa negara itu dibentuk dari organisasi-organisasi yang ada masyarakat, bukan sebaliknya,” terang Anis Matta.

BERITALAINNYA
BERITATERKINI