Amini Firli Bahuri, Guspardi Gaus Setuju Presidential Threshold?Dihapus
SinPo.id - Pernyataan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Firli Bahuri yang menyebut presidential threshold harus ditiadakan agar demokrasi di Indonesia tidak memakan biaya politik yang tinggi mendapat dukungan dari Anggota Komisi II DPR dari Fraksi PAN, Guspardi Gaus.
"Sudah seharusnya pilpres yang membutuhkan ongkos politik mahal/ tinggi dihilangkan," ujar Guspardi kepada wartawan di Jakarta, Senin (13/12).
Guspardi mengungkapkan bila ada figur yang kredibel, berintegritas dan hebat mau maju menjadi calon pemimpin bangsa, tetapi tak punya kapital yang memadai. Maka hal tersebut akan dijadikan peluang bagi oligarki untuk mensponsori figur yang ingin maju dalam pemilihan Presiden.
"Setelah sosok pemimpin yang dibiayainya itu terpilih, maka kepentingan para oligarki tentu harus diakomodir sehingga tersandera kepentingan pihak lain yang mendorong terjadinya praktek korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN)," ungkapnya.
Menurutnya, penerapan sistem presidential threshold terkesan sebagai upaya membatasi hak konstitusional rakyat dalam menentukan calon pemimpinnya.
"Presidential threshold juga lari dari semangat reformasi, lantaran tidak membuka ruang demokrasi guna memberikan kesempatan bagi masyarakat Indonesia untuk memilih mana calon yang terbaik tanpa perlu diatur dan diseleksi terlebih dahulu oleh mekanisme ambang batas," katanya.
Guspardi menilai dengan dihapusnya aturan presidential threshold juga dapat menjadi salah satu jalan keluar guna mencegah polarisasi di tengah masyarakat.
"Jangan sampai pesta demokrasi yang seharusnya disikapi dengan kegembiraan, justru menciptakan permusuhan yang berkepanjangan di antara anak bangsa," tambahnya.
Oleh karena itu, setiap partai politik seharusnya di berikan hak konstitusional untuk mencalonkan pasangan presiden dan wakil presiden.
Karena menurutnya, pengalaman kontestasi Pilpres 2019 lalu seharusnya bisa menjadi pelajaran penting bahwa penetapan presidential threshold telah mengakibatkan rakyat terpolarisasi menjadi dua kubu yang saling berhadapan.
Akibatnya terjadi berbagai pembelahan yang membuat terjadinya persekusi, timbulnya fitnah, merajalelanya hoaks, dan lain-lain. Lalu dilanjutkan dengan narasi-narasi yang menjatuhkan pasangan lawan atau kubu lawan.
"Sikap semacam ini dapat menciptakan konflik horizontal maupun vertikal yang berujung pada tindak kekerasan di tengah-tengah masyarakat," tandasnya.