Menelisik "Jamuan Nasi Goreng" Cikeas

Laporan:
Jumat, 28 Juli 2017 | 16:28 WIB
Foto: Arbi
Foto: Arbi

Jakarta, sinpo.id - Tak ada angin tak ada hujan, Kamis (27/7/2017) pagi beredar kabar yang mengatakan akan ada pertemuan antar dua jendral. Ketua Umum partai Demokrat, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mengundang Ketua Umum partai Gerindra, Prabowo Subianto ke kediamannya di Puri Cikeas, Bogor.

Sontak kabar ini menjadi perbincangan hangat di media. Maklum, keduanya memang sudah lama tak bertemu dan juga kedua partai besar ini dalam beberapa waktu terakhir tidak selalu mempunyai kesamaan visi. Khalayak pun, tentu sudah tau arah tujuan pertemuan ini.

Prabowo yang hadir beserta rombongan sekitar pukul 21.00 WIB langsung dijamu oleh SBY. Keduanya terlihat menyantap makan malam terlebih dahulu dengan menu nasi goreng "kaki lima" yang sudah dipesan khusus oleh Cikeas. 

"Intelnya Pak SBY masih kuat. Beliau tahu kelemahan Pak Prabowo adalah nasi goreng. Asal diberi nasi goreng, Pak Prabowo setuju saja," kata Prabowo yang langsung mengundang gelak tawa orang yang hadir di sana.

Jamuan makan seperti ini nampaknya sudah menjadi tren baru untuk memulai diplomasi maupun rapat. Sebelumnya Presiden Joko Widodo juga pernah melakukan hal serupa ketika masih menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta. Seringkali Jokowi dalam menerima perwakilan pendemo di Balaikota, melakukan sesi makan siang terlebih dahulu sebelum melakukan rapat. Ia mengatakan bahwa makan sebelum rapat dapat meredakan emosi, sehingga ketika rapat berlangsung, para tamu dapat berpikir dengan kepala dingin.

Walaupun terlihat sama, jamuan makan malam ala SBY ini terlihat bukan untuk meredakan emosi. Tetapi lebih ke arah teknik diplomasi yang mencerminkan keakrapan kedua pemimpin partai tersebut.

Prabowo pun, mengaku dirinya sudah lama ingin bertemu dengan SBY, namun kesempatan itu baru hadir saat ini. "Saya memang meminta waktu kepada SBY untuk bertemu sejak lama, dan baru sekarang beliau memiliki waktu untuk bertemu. Saya sangat senang karena SBY yang baru saja pulang dari luar negeri, langsung mengundang untuk bertemu," tuturnya.

Dalam kesempatan itu, SBY mengatakan bahwa inti pertemuan antara kedua partai tersebut adalah akan terus mengawal negara ini dalam kapasitas mereka sekarang. "Agar perjalanan bangsa ini mengarah ke arah yang benar. Agar apa yang dilakukan oleh negara benar-benar untuk kepentingan rakyat. (SBY dan Prabowo) wajib hukumnya untuk mengawal perjalanan bangsa yang kita cintai ini," terangnya.

Meski begitu, SBY tak menampik bahwa pertemuan ini juga membahas mengenai kerjasama anatar kedua partai. Mengingat, pada 2019 Indonesia akan dihadapkan dengan pesta demokrasi, yang diyakini tak kalah keras dengan tahun 2014.

Pernyataan SBY tersebut diperkuat oleh Wasekjen Partai Demokrat, Hinca Panjaitan yang sudah memikirkan calon untuk diusung pada 2019. Hinca dalam kesempatan ini juga tak penampik jika Demokrat akan mengusung Agus Harimurti Yudhoyono (AHY).

"Saya tidak mengatakan AHY disiapkan. semua kami siapkan. Untuk persiapannya tersebut, belum bisa dipastikan, akan disiapkan ke mana dan sebagai apa," ucapnya.

Jika memang benar Demokrat memilih AHY untuk diusung, Demokrat sudah memilih jalan yang tepat dengan meminta dukungan partai besar seperti Gerindra. Mengingat, sosok AHY banyak yang menilai belum cukup mumpuni untuk memimpin negara.

Sementara itu Gerindra menerimanya dengan tangan terbuka. Hal ini disebabkan partai Demokrat merupakan partai besar yang sudah pernah menguasai negeri ini. Tentunya, perpaduan suara kedua partai disinyalir akan mencapai angka 20 persen, seperti yang sudah ditetapkan dalam UU Pemilu, yang menyebut sebuah partai atau koalisi partai harus memperoleh 20 persen kursi parlemen untuk bisa menunjuk langsung calonnya, atau yang dikenal dengan presidential threshold.

Gerindra sendiri sebenarnya tegas menolak syarat presidential threshold. Menurut Prabowo, presidential threshold itu merupakan sebuah lelucon politik yang dapat merusak azas-azas demokrasi yang sudah tertanam di negeri ini.

"Presidential threshold 20 persen menurut kami adalah suatu lelucon politik yang menipu rakyat Indonesia," tegasnya di Cikeas.

Saat rapat UU Pemilu beberapa waktu lalu di Parlemen, walau telah disahkan, Gerindra dengan tegas menolak adanya syarat presidential Threshold tersebut di dalam UU Pemilu. Bahkan Gerindra akan mengajukan judicial review ke Mahkama Konstitusi (MK) untuk membatalkannya. 

Yang perlu dicermati adalah bahwa Gerindra tidak sendirian menolak UU Pemilu tersebut. Partai PAN dan PKS juga turut menolak pengesahan UU Pemilu yang sudah "diketuk".

Jadi, bukan tak mungkin, poros Cikeas dan Hambalang juga akan mendapat dukungan dari PAN dan PKS pada 2019. Walau nantinya judicial review tersebut ditolak MK, angka 20 persen suara nampaknya masih terlalu kecil bagi poros ini.

Hal ini tentunya membuat poros Teuku Umar tak bisa tinggal diam. Hal itu dapat dilihat dari partai Nasdem, selaku koalisi PDI-P langsung merapatkan barisan. Nasdem langsung melakukan pertemuan dengan partai koalisinya seperti PDI-P dan Hanura.

Melihat kemungkinan Gerindra masih akan mengusung Prabowo sebagai calon presiden pada pertarungan 2019, bukan tak mungkin duet Prabowo-AHY akan menjadi kenyataan pada pemilu mendatang.

Akan tetapi sekali lagi, hal ini baru sebatas kerjasama, belum pembentukan koalisi secara resmi. Masih banyak kemungkinan yang akan terjadi dalam perjalanan hingga 2019.

Sangat menarik ditunggu.

BERITALAINNYA
BERITATERKINI