Direktur Operasional Antam Ditahan Kejagung

Laporan: Agam
Kamis, 03 Juni 2021 | 09:39 WIB
Direktur Antam ditahan Kejagung./Dok: Kejagung/
Direktur Antam ditahan Kejagung./Dok: Kejagung/

SinPo.id - Direktur Operasional PT Aneka Tambang (Persero) Tbk berinisial HW dan mantan Direktur Antam berinisial AL ditahan oleh penyidik Kejaksaan Agung (Kejagung). Selain HW dan AL, penyidik Kejagung juga menahan BM sekaku mantan Direktur Utama PT ICR, dan MH selaku Komisaris PT Tamarona Mas Internasional. Mereka ditahan selama 20 hari ke depan terhitung sejak 2 Juni sampai dengan 21 Juni 2021.

"Tiga orang ditempatkan di Rutan Kejagung Cabang Salemba, dan satu orang di Rutan Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan. Sebelum dilakukan penahanan, keempat tersangka dilakukan pemeriksaan kesehatan dan dilakukan swab antigen dan dinyatakan sehat," tutur Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung, Leonard Eben Ezer Simanjuntak dalam keterangannya pada Selasa, (2/6) malam.

Leonard menjelaskan, dalam perkara ini, Kejagung telah menetapkan enam orang tersangka. Selain empat orang tersebut, dua tersangka lainnya adalah AT selaku Direktur Operasional PT ICR dan tersangka MT selaku Direktur PT CTSP.

Kedua orang tersebut sejatinya turut diperiksa pada hari ini. Namun karena berhalangan hadir, dengan alasan sakit, pemeriksaan kepada dua tersangka itu akan dilanjutkan pekan depan.

Lebih jauh Leonard menjelaskan terkait konstruksi perkaranya. Kata Leonard, tersangka BM ersangka BM selaku Direktur Utama PT ICR periode tahun 2008 sampai dengan 2014, melakukan akuisisi PT TMI yang memiliki IUP Pertambangan Batubara di Kecamatan Mandiangin Kabupaten Sarolangun dalam rangka mengejar ekspansi akhir tahun PT ICR.

Setelah mendapat hasil laporan site visite dari Saksi A, tersangka BM melakukan pertemuan dengan tersangka MT selaku penjual (kontraktor batubara) pada tanggal 10 November 2010 dan telah ditentukan harga pembelian yaitu Rp92,50 miliar, meski belum dilakukan due dilligence.

Pada 19 November 2010 di Jakarta, dilaksanakan MOU antara PT ICR-PT CTSP-PT TMI-PT RGSR dalam rangka akuisisi saham PT CTSP yang memiliki IUP dengan luas lahan 400 hektare (ha). Karena PT ICR tidak memiliki dana untuk akuisisi PT CTSP, saksi AA yang menjabat Komisaris Utama PT ICR meminta penambahan modal kepada PT Antam sebesar Rp150 miliar.

Setelah dilakukan kajian internal oleh Antam yang dikoordinir oleh tersangka HW, tersangka AL melalui Keputusan Direksi Antam dengan dasar Nota Dinas SM Corporate Strategic Development Nomor 515.a/CS/831/2010 tanggal 31 Desember 2010, menyetujui menambah modal disetor kepada PT ICR sebesar Rp 121.975.600.000 untuk mengakuisisi 100% saham PT CTSP yang mempunyai aset batubara di Sarolangun Provinsi Jambi.

Leonard menyatakan, karena kajian internal oleh Antam tidak dilakukan secara komprehensif, maka kemudian ditemukan bahwa SK Bupati Sarolangun No.32 Tahun 2010 tentang Persetujuan Peningkatan Izin Usaha Pertambangan Eksplorasi menjadi Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi (IUP OP) kepada PT TMI (KW.97 KP.211210) tanggal 22 Desember 2010 diduga fiktif.

"Pada kenyataannya, pada lahan 201 ha ijin usaha pertambangan masih eksplorasi. Due dilligence pada lahan 199 ha yang memiliki IUP OP hanya dilakukan terhadap lahan 30 hektare (tidak komprehensif)," katanya.

Setelah dilakukan perjanjian jual beli saham pada tanggal 12 Januari 2011, tersangka MH mendapat pembayaran sebesar Rp35 miliar. Adapun tersangka MT mendapatkan pembayaran Rp 56,50 miliar.

Perbuatan tersangka BM bersama-sama dengan tersangka ATY, saksi AA, tersangka HW, tersangka MH, dan tersangka MT tersebut merugikan keuangan negara sebesar Rp92,5 miliar, sebagaimana hasil audit Kantor Akuntan Publik (KAP) Pupung Heru.

Akibat perbuatannya itu, para tersangka disangakakan melanggar Pasal primer yakni Pasal 2 ayat (1) jo. Pasal 18 UU No. 31/1999 sebagaimana diubah dan ditambah dengan UU No. 20/2001 tentang Perubahan atas UU No. 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Sedangkan Pasal subsider Pasal Pasal 3 jo. Pasal 18 UU No. 31/1999 sebagaimana diubah dan ditambah dengan UU No. 20/2001 tentang Perubahan atas UU No.31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

BERITALAINNYA
BERITATERKINI