Penyidik KPK Ditangkap, ICW: Pengelolaan Internal Bobrok

Korupsi Tanjungbalai

Oleh: Rere
Kamis, 22 April 2021 | 09:08 WIB
Ketua KPK, Firli Bahuri.(Istimewa)
Ketua KPK, Firli Bahuri.(Istimewa)

sinpo, Jakarta - Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dari unsur kepolisian berinisial AKP SR ditangkap oleh Divisi Propam Polri lantaran diduga memeras Wali Kota Tanjungbalai, Sumatera Utara, M Syahrial.

Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Kurnia Ramadhana menilai, penangkapan terhadap AKP SR merupakan bukti bobroknya internal KPK selama dipimpin oleh Firli Bahuri.

"Selain karena rusaknya regulasi baru KPK, isu ini juga mesti diarahkan pada kebobrokan pengelolaan internal kelembagaan oleh para komisioner," ujar Kurnia dalam keterangannya di Jakarta, Kamis, (22/4/2021).

Kata Kurnia, kejadian pemerasan oleh penyidik dari unsur kepolisian yang bertugas di KPK bukanlah kali pertama. Sebelumnya, pada 2006 silam, seorang penyidik bernama Suparman pernah melakukan hal serupa.

Kala itu, Suparman terbukti memeras seorang sanksi dan menerima uang Rp413 juta. Akibat perbuatannya, Suparman kemudian diganjar 8 tahun penjara.

"Sangat disayangkan, lembaga antikorupsi yang seharusnya menjadi contoh dan trigger mechanism bagi penegak hukum lain justru saat ini menjadi sumber permasalahan," kata Kurnia.

Dalam kesempatan tersebut, ICW juga mengkritisi kebiasaan KPK saat ini dalam menangani sebuah perkara.

Beberapa waktu terakhir, KPK kerap kali menyembunyikan nama tersangka dengan alasan menunggu penangkapan atau penahanan. Selain perkara lelang jabatan di Tanjung Balai, sebelumnya juga terdapat model penanganan serupa, misalnya dalam dugaan suap pajak dan korupsi pembangunan gereja di Mimika Papua.

Merujuk pada UU KPK, pada dasarnya tidak ada kewajiban bagi lembaga anti rasuah itu untuk menutup-nutupi nama tersangka saat proses penanganan perkara sudah masuk dalam proses penyidikan.

Pasal 44 ayat (1) UU KPK sudah jelas menyebutkan bahwa dalam fase penyelidikan KPK sudah mencari bukti permulaan yang cukup. Hal itu menandakan, tatkala perkara sudah naik pada tingkat penyidikan, maka dengan sendirinya sudah ada penetapan tersangka.

Dengan melakukan hal ini secara terus menerus, maka KPK telah melanggar Pasal 5 UU KPK perihal asas kepentingan umum, keterbukaan, dan akuntabilitas lembaga.

Kebiasaan baru KPK dalam menyidik perkara tanpa penetapan tersangka ini, juga semakin diperparah dengan kewenangan KPK mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) yang diatur dalam Pasal 40 ayat (1) UU KPK.

"Pemerasan yang diduga dilakukan oleh Penyidik KPK tersebut, patut diduga merujuk pada penghentian penyidikan lewat penerbitan SP3 oleh KPK," katanya.

Atas dasar itu, ICW mendesak, Kedeputian Penindakan KPK dan Dewan Pengawas (Dewas) untuk segera menindaklanjuti dugaan pemerasan dengan melakukan klarifikasi dan penyelidikan lebih lanjut atas tindakan Penyidik asal Polri itu.

"Jika kemudian tindakan pemerasan itu terbukti, maka KPK harus memproses hukum penyidik itu serta Polri juga mesti memecat yang bersangkutan dari anggota Korps Bhayangkara," tandasnya.sinpo

Komentar: