Kudeta Militer Myanmar, Sukamta Berharap Tercipta Demokratisasi di Asia Tenggara

Laporan: Lilis
Selasa, 02 Februari 2021 | 19:46 WIB
Sukamta (Dok. Instagram drsukamta)
Sukamta (Dok. Instagram drsukamta)

sinpo - Ketua DPP PKS Bidang Pembinaan dan Pengembangan Luar Negeri (BPPLN) Sukamta mengaku prihatin dengan kudeta militer yang terjadi di Myanmar. Menurutnya, proses demokratisasi di lingkup kawasan Asia Tenggara masih punya pekerjaan besar. 

"Setiap negara tentu punya histori masing-masing soal hubungan antara sipil dengan militer. Kita pun punya dinamika hubungan sipil dan militer. Alhamdulillah sejak reformasi kita sudah pada tahap yang lebih baik," kata Sukamta dalam keterangannya, Selasa (2/2/2021).

Ia mengapresiasi sikap tanggap Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) RI yang mengeluarkan pernyataan imbauan kepada Myanmar agar masing-masing pihak menahan diri dan menyelesaikan semuanya dengan jalan terbaik. Ia juga mendorong agar masing-masing pihak memperhatikan keselamatan semua warga negara di sana.

"Terlebih kepada minoritas seperti etnis Rohingya. Saya kira ini bukan imbauan yang basa-basi atau omong doang, tapi pernyataan harapan agar tercipta demokratisasi di manapun di Asia Tenggara, khususnya di Myanmar, terlebih karena Indonesia sudah pernah mengalami masa-masa tidak enak dalam konteks hubungan sipil-militer dan kita sudah berhasil melalui masa-masa itu. Myanmar perlu belajar dari proses demokratisasi ini dari Indonesia," katanya.

Anggota Komisi I DPR RI ini menambahkan bahwa pemerintah RI harus mempunyai solusi jangka pendek dan jangka panjang. Jangka pendek, pemerintah RI harus memiliki langkah-langkah taktis untuk menjamin keselamatan WNI di Myanmar. 

Untuk sementara ini KBRI sudah mengimbau WNI agar tetap tinggal di rumah dan tetap memberlakukan protokol kesehatan. Karena akses-akses sudah ditutup, termasuk bandara. Pemerintah harus punya kajian eskalasi konflik di sana. Jika sudah bisa diprediksi apakah eskalasi konflik makin mengkhawatirkan, perlu dipikirkan solusi untuk memulangkan WNI ke tanah air.

"Jangka panjangnya, perlu dipikirkan peran Indonesia sebagai leader tradisional ASEAN. Indonesia harus mampu mengayomi negara-negara anggota ASEAN. Namun, karena dalam Piagam ASEAN diatur soal prinsip non-interference, artinya ASEAN tidak bisa mencampuri urusan dalam negeri anggotanya. Ini ke depan perlu dipikirkan untuk ditinjau ulang," katanya.

Menurutnya, ASEAN belum punya gigi untuk menyelesaikan urusan-urusan seperti ini. Kasus ini bisa jadi momentum untuk meredefinisi ASEAN agar tidak hanya jadi ajang kumpul-kumpul saja. Jika ASEAN punya fungsi dan kewenangan yang lebih kuat, setidaknya krisis-krisis politik dan HAM yang terjadi di negara-negara ASEAN dapat ditindaklanjuti oleh ASEAN dengan mengirim pasukan perdamaian misalnya. 

"Bukan dalam rangka turut campur 100% urusan dalam negeri suatu negara, tapi untuk memastikan pelindungan terhadap warga sipil, karena biasanya warga sipil menjadi korban jika ada perang di dalam negeri, meskipun sudah ada hukum humaniter. Kalau terus mengharap pasukan perdamaian dari PBB yang turun, lebih lama, prosesnya juga ada tahapan-tahapannya. Harusnya ASEAN ke depan bisa menyelesaikan urusan dalam kawasannya sendiri," ujar anggota DPR RI dari Daerah Istimewa Yogyakarta ini.

BERITALAINNYA
BERITATERKINI