Regularitas Sirkulasi Kekuasaan, Ciri Demokrasi yang Solid

Laporan: Lilis
Senin, 01 Februari 2021 | 18:45 WIB
Willy Aditya (Dok. Instagram adityawily)
Willy Aditya (Dok. Instagram adityawily)

sinpo - Ciri negara yang demokrasinya solid atau terkonsolidasi adalah peralihan kekuasaan secara berkala. Lewat pemilu atau pilkada yang jujur dan adil, serta terselenggara secara periodik, menjadi wujud paling nyata dari peralihan itu. 

“Mekanisme pemilu atau pilkada yang reguler ini dapat dinikmati oleh elite dan massa sebagai mekanisme yang absah dan konstitusional dalam pergantian kekuasaan. Dengan demikian kereguleran ini tidak hanya menguntungkan kelompok-kelompok tertentu saja,” demikian disampaikan oleh Wakil Ketua Fraksi Partai NasDem Willy Aditya di Jakarta, Senin (1/2/2021), menanggapi polemik tentang pelaksanaan pilkada serentak apakah tahun 2024 atau 2022 dan 2023.

Menurut Willy, pemilu dan pilkada adalah kunci dari perwujudan kedaulatan rakyat.  Jika pemerintah atau ada pihak lain yang bermaksud menghilangkan atau menunda proses tersebut, maka harus diperiksa darimana mandat itu didapatkan. 

“Mandat rakyat untuk pemimpin baik nasional maupun daerah hanya lima tahun, dan itu adalah waktu bagi rakyat mendapatkan haknya untuk memilih kembali pemimpinnya,” ucapnya.

Selain itu, pergantian kekuasaan melalui pemilu atau pilkada, selain akan menjamin peralihan kekuasaan secara aman dan tertib, juga akan menjamin adanya legitimasi yang kuat terhadap pemerintah itu sendiri.

Willy yang juga Wakil Badan Legislasi DPR RI ini menegaskan, pemilu atau pilkada merupakan mekanisme pemberian otoritas politik dari warga negara kepada penguasa. Supremasi yang dimiliki oleh suatu pemerintahan, sesungguhnya adalah supremasi yang didelegasikan dari rakyat.

Dirinya memandang, jika pilkada serentak dilaksanakan pada tahun 2024 maka akan banyak PLT dalam waktu yang cukup signifikan. Kondisi demikian tentu akan berdampak pada tanggung jawab politik terhadap publik. Hak publik menjadi terabaikan.

“Pelayanan publik jadi terganggu. Padahal kebutuhan publik adalah salah satu tanggung jawab utama seorang pemimpin hasil pemilihan,” kata Willy.

Selain itu, dia melanjutkan, penting juga dicatat bahwa pemilu menciptakan sistem yang membuat pejabat publik harus bertanggung jawab atas penggunaan kekuasaannya. “Bagaimana dengan penjabat yang akan mengisi kekosongan tersebut? Siapakah yang dapat mengontrol penggunaan kekuasaannya?” ungkapnya retorik.

Dari sisi teknis, pelaksanaan pilkada serentak tahun 2024 juga terlalu berisiko. Bagi Willy, penggabungan pemilu dan pilpres tahun 2019 lalu harus menjadi pelajaran penting bagi kita. Jangan sampai kekacauan dan korban jiwa yang tidak pernah kita pikirkan sebelumnya, terulang dan menjadi lebih parah akibat tidak maunya kita mengambil pelajaran ini.

“Kita harus berani mengakui bahwa kita masih terus berproses dalam upaya memperbaiki sistem elektoral kita. Masih banyak kekurangan di sana-sini, baik secara kualitatif maupun kuantitatifnya. Jadi jangan sampai kita mengulang kebodohan yang sama,” tegasnya.

Dari sisi regulasi, Willy menyitir putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 55/PUU-XVII/2019 yang telah mengubah pendiriannya soal konstitusionalitas pemilu serentak 5 kotak sebagai satu-satunya pilihan yang konstitusional. Putusan ini, baginya, menunjukkan bahwa kita tidak boleh menjadi manusia legalis.

“Ada aspek-aspek lain yang harus senantiasa kita lihat secara dialektis. Baik dari aspek sistemnya, efisiensi dan efektivitasnya, dan terutama aspek menyangkut hak pemilih dan kemaslahatan penyelenggaraannya. Intinya, semua dimensi kehidupan politik kita haruslah ditujukan bagi upaya mencerdaskan kehidupan bangsa,” tutupnya.

BERITALAINNYA
BERITATERKINI