APVI Minta Gubernur Tinjau Ulang Raperda KTR: Risiko Sosialnya Terlalu Besar
SinPo.id - Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentAang Kawasan Tanpa Rokok (KTR) di Provinsi DKI Jakarta yang kini memasuki tahap harmonisasi di Kementerian Dalam Negeri menimbulkan kekhawatiran baru di tengah masyarakat dan pelaku usaha kecil.
Sejumlah pemberitaan nasional juga menunjukkan kegelisahan yang sama, mulai dari pedagang pasar, ritel kecil, hingga ekonom independen yang menilai Raperda KTR berpotensi mematikan aktivitas ekonomi di level akar rumput.
Ketua Umum Asosiasi Personal Vaporizer Indonesia (APVI), Budiyanto, menegaskan bahwa regulasi pengendalian konsumsi harus tetap sejalan dengan kaidah proporsionalitas dan perlindungan masyarakat.
Menurutnya, draf Raperda KTR saat ini 'mengandung risiko sosial yang terlalu besar untuk diabaikan'.
“APVI mendukung sepenuhnya regulasi yang melindungi anak-anak. Meski demikian, rancangan Perda juga jangan sampai mematikan pelaku UMKM dan menutup akses bagi konsumen dewasa. Selain itu, Perda jangan sampai memicu semakin maraknya peredaran produk ilegal. Itu sebabnya kami mohon Gubernur dan DPRD untuk meninjau ulang Perda DKI sebelum disahkan” ujar Budiyanto
APVI menilai beberapa ketentuan Raperda justru menciptakan insentif negatif yang mendorong peredaran barang ilegal. Larangan pajangan produk, pelarangan promosi secara absolut, serta pembatasan radius 200 meter dari seluruh jenis satuan pendidikan, termasuk lembaga kursus non-formal yang tersebar di area komersial, akan mempersulit keberadaan ritel legal. Ketika jalur distribusi legal ditekan, pasar akan bergeser ke produk tanpa cukai dan tidak memenuhi standar keamanan.
APVI menilai hal ini selaras dengan analisis para ekonom independen yang telah diberitakan, termasuk dari INDEF yang menyebut bahwa rencana pengaturan ini dapat mengancam pedagang kecil dan memperlebar ruang bagi perdagangan tidak resmi.
Pembatasan yang terlalu luas dan tanpa diferensiasi kategori pendidikan formal dan non-formal akan membuat ruko komersial serta pasar tradisional otomatis masuk kedalam larangan zonasi penjualan 200 meter. Hal ini menghilangkan akses penghidupan ribuan pedagang kecil yang saat ini berada dalam masa pemulihan ekonomi.
Selain itu, larangan total pemajangan dan komunikasi produk membuat konsumen dewasa kehilangan hak untuk mengetahui legalitas dan perbedaan produk. Kondisi ini bertentangan dengan prinsip perlindungan konsumen dan secara tidak langsung memperbesar pasar gelap yang tidak terkontrol.
APVI menilai proses penyusunan kebijakan perlu mengedepankan prinsip kehati-hatian dalam merumuskan pembatasan berbasis bukti, harmonisasi dengan aturan nasional dengan tetap mempertimbangkan kondisi sosial masyarakat setempat, mempertimbangkan dampak sosial-ekonomi secara menyeluruh terhadap UMKM dan masyarakat serta memitigasi risiko akan maraknya produk tembakau ilegal.
“Kami memohon perlindungan kepada Bapak Gubernur dan meminta agar proses harmonisasi diperhatikan secara seksama. Kami juga berharap DPRD membuka ruang dialog lintas pemangku kepentingan sebelum Perda ini ditetapkan. Jakarta tidak boleh menjadi episentrum pasar ilegal hanya karena regulasi yang disusun tanpa penilaian risiko sosial yang memadai” tambah Budiyanto.
APVI menyambut baik pernyataan sejumlah anggota DPRD yang dalam pemberitaan menyebut bahwa ruang aspirasi publik masih terbuka, dan berharap forum tersebut dapat digunakan untuk merumuskan kebijakan berbasis bukti yang melindungi masyarakat secara proporsional.
