Ancam Daya Beli Masyarakat, Pelaku Ritel dan UMKM Kompak Kritik Raperda KTR

Laporan: Tim Redaksi
Kamis, 18 Desember 2025 | 14:25 WIB
Ilustrasi. (SinPo.id/Antara)
Ilustrasi. (SinPo.id/Antara)

SinPo.id - Rencana Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk mengatur Kawasan Tanpa Rokok (KTR) melalui Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) menuai polemik. Dalam upaya pemulihan ekonomi nasional, regulasi ini justru dapat memukul ekosistem peritel modern hingga usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM).
 
Himpunan Peritel dan Penyewa Pusat Perbelanjaan Indonesia (HIPPINDO) menyuarakan keberatan atas poin zonasi larangan penjualan produk hasil tembakau itu. Ketua Umum HIPPINDO, Budihardjo Iduansjah menegaskan penerapan aturan zonasi radius di Jakarta berpotensi menimbulkan kekacauan di lapangan. 
 
Menurutnya, definisi radius dalam tata kota yang kompleks seperti Jakarta sangat sulit diimplementasikan. Pasalnya terdapat perbelanjaan atau mal yang menjadi pusat aktivitas masyarakat dalam berkegiatan, seperti berbelanja, beribadah, hingga pusat belajar. Jika aturan radius penjualan rokok diterapkan secara kaku, hampir seluruh mal di Jakarta bisa terkena larangan penjualan produk tembakau. 
 
"Kalau kawasan tanpa rokok itu harus diperjelas secara detail. Kalau radius nggak bisa karena penjualan rokok masih merupakan tulang punggung daripada sektor retail dan sektor produsen. Dan itu harus memperhatikan tenaga kerja dan lain sebagainya," ujar Budiharjo.
 
Jika pemerintah daerah terus mendorong aturan tersebut, dampak ekonomi yang muncul akan sangat terasa. Kendati kebijakan zonasi larangan penjualan rokok akan dihilangkan dalam Raperda KTR, HIPPINDO tetap memperkirakan adanya potensi kerugian pada ekosistem ritel jika kebijakan tersebut disahkan, imbas dari pembatasan ekstrem terhadap penjualan produk tembakau.
 
"Ya penurunan omzet itu, penjualan kami itu hampir Rp20 triliun setahun itu bisa ada terjadi penurunan secara ekosistem dari retail. Kerugian puluhan triliun itu dari distributor, peritel sampai supplier terkena dampaknya," ungkap Budihardjo.
 
Keresahan sama pun dirasakan oleh pelaku UMKM, lebih lagi kondisi saat ini sedang tidak baik-baik saja. Indikator kenaikan daya beli menjelang Natal dan Tahun Baru (Nataru) belum terlihat signifikan. Situasi ini diperparah dengan persaingan yang tidak seimbang akibat ekspansi ritel jaringan nasional hingga ke pelosok.
 
Wakil Ketua Umum Asosiasi Koperasi dan Ritel Indonesia (AKRINDO), Anang Zunaedi mengatakan, produk tembakau adalah komoditas dengan perputaran uang yang sangat cepat bagi UMKM. Keuntungan dari penjualan produk tembakau seringkali digunakan untuk menutupi biaya operasional harian atau mensubsidi produk lain yang perputarannya lambat.
 
"Terkait zonasi dan KTR tentu berdampak karena rokok menjadi kategori produk fast moving di peritel Koperasi UMKM. Apalagi di peritel tingkat mikro yang bergantung di produk rokok maka ini sangat memberatkan," papar Anang.
 
Dia berharap pemerintah dapat lebih bijaksana dalam merumuskan pasal-pasal dalam Raperda KTR. Ia menekankan bahwa tujuan pengendalian konsumsi produk tembakau seharusnya bukan dengan mematikan mata pencaharian pedagang kecil.
 
"Mestinya pemerintah berupaya mengedukasi masyarakat tentang rokok tanpa harus mematikan usaha pedagangnya,” tutup Anang.

BERITALAINNYA
BERITATERKINI