Industri Otomotif Lesu, Pemerintah Diminta Segera Turunkan Insentif Demi Jaga Pekerja

Laporan: Tio Pirnando
Senin, 01 Desember 2025 | 16:47 WIB
Pameran GIIAS 2025 yang diikuti  60 merek otomotif di ICE BSD (SinPo.id/Ashar)
Pameran GIIAS 2025 yang diikuti 60 merek otomotif di ICE BSD (SinPo.id/Ashar)

SinPo.id - Kementerian Perindustrian (Kemenperin) menyampaikan bahwa , industri otomotif saat ini sangat membutuhkan insentif guna memperkuat ekosistem industrinya dari hulu-hilir. Insentif tersebut guna mempertahankan utilisasi produksi, melindungi investasi dan pekerja industrinya dari pemutusan hubungan kerja (PHK), serta meningkatkan daya saing produk otomotif dalam negeri.

"Jadi, keliru jika kita menyatakan industri otomotif sedang dalam kondisi kuat dengan hanya mengandalkan indikator pertumbuhan kendaraan pada segmen tertentu," kata Juru Bicara Kemenperin, Febri Hendri Antoni Arief dalam keterangannya, Senin, 1 Desember 2025. 

Febri menjelaskan, penjualan kendaraan EV sekarang ini memang meningkat signifikan. Penjualan EV melonjak tajam pada periode Oktober-Januari tahun 2025 dibanding periode yang sama tahun lalu. 

Namun kenaikan penjualan ini sebagian besar berasal dari kendaraan EV impor. Dari total penjualan kendaraan EV tahun 2025 sebesar 69,146 unit, 73 persennya merupakan kendaraan EV impor produksi dan nilai tambah serta penyerapan tenaga kerja industrinya berada di negara lain. 

Sementara segmen kendaraan lain yang diproduksi di dalam negeri dan memiliki share terbesar dalam pasar industri otomotif nasional terus mengalami penurunan penjualan signifikan, bahkan jauh dibawah jumlah produksi tahunan kendaraan pada segmen tersebut.

"Penurunan tajam penjualan kendaraan bermotor roda empat jauh di bawah angka produksinya di kala penjualan kendaraan EV impor naik tajam adalah fakta yang tidak bisa dihindari. Dan, harus menjadi indikator pertumbuhan industri otomotif nasional saat ini. Kami memandang bahwa dibutuhkan insentif untuk membalikkan keadaan tersebut," ujarnya. 

Selain itu, banyaknya pameran bukan berarti menunjukkan bahwa industri otomotif sedang kuat. Kuat tidaknya industri otomotif nasional hanya bisa disimpulkan berdasarkan data penjualan dan produksi otomotif.

"Banyaknya pameran otomotif diberbagai tempat Indonesia juga bukan ukuran industri otomotif sedang kuat. Sebaliknya, banyak pameran otomotif adalah upaya dan perjuangan industri untuk tetap mempertahankan demand ditengah anjlok penjualan domestiknya dan sekaligus melindungi pekerjanya dari PHK. Sekali lagi, kita harus menggunakan data statistik yang ada untuk menggambarkan kondisi obyektif industri otomotif saat ini dan tidak menggunakan jumlah event pameran otomotif, " paparnya. 

Kemenperin menegaskan bahwa indikator paling mendasar untuk mengukur kesehatan industri otomotif adalah penjualan kendaraan ke pasar, bukan hanya pertumbuhan segmen tertentu atau besaran investasinya. Hal tersebut tidak mampu menggambarkan kondisi industri otomotif secara keseluruhan.

Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) mencatat, penjualan mobil selama Januari-Oktober 2025 secara wholesales (distribusi dari pabrik ke dealer) hanya sebanyak 634.844 unit. 

Angka itu turun 10,6 persen dibanding tahun lalu yang mencapai 711.064 unit. Sedangkan secara retail sales (penjualan dari dealer ke konsumen) tercatat sebanyak 660.659 unit pada Januari-Oktober 2025. Angka itu turun 9,6 persen dari tahun lalu yang mencapai 731.113 unit.

Karenanya, Kemenperin menegaskan bahwa insentif otomotif menjadi instrumen krusial dalam upaya memulihkan pasar kendaraan bermotor sekaligus menjaga keberlangsungan industri otomotif nasional.

Febri menyatakan, kebijakan insentif tidak hanya penting bagi pelaku industri, tetapi juga memberikan manfaat nyata bagi masyarakat sebagai konsumen. 

Menurutnya, insentif akan menciptakan ruang bagi penurunan harga kendaraan, memperbaiki sentimen pasar, serta mempertahankan daya beli masyarakat, khususnya kelompok kelas menengah dan pembeli mobil pertama yang sangat sensitif terhadap perubahan harga.

"Walaupun Kemenperin belum merumuskan jenis, bentuk dan target insentif/stimulus, tapi usulannya akan mengarah ke segmen kelas menengah-bawah dan didasarkan pada nilai TKDN," ungkapnya.

Data yang dihimpun Ditjen Industri Logam, Mesin, Alat Transportasi, dan Elektronika (ILMATE) menunjukkan bahwa sepanjang Januari hingga Oktober 2025, penjualan wholesales kendaraan bermotor mencapai 635.844 unit atau turun 10,6 persen dibanding periode yang sama tahun sebelumnya. Sementara itu, produksi kendaraan juga mengalami penurunan menjadi 957.293 unit dari 996.741 unit pada 2024.

Penurunan paling dalam terjadi pada segmen kendaraan yang justru menjadi tulang punggung industri otomotif nasional, yaitu segmen entry (OTR < Rp200 juta) yang anjlok hingga 40 persen, segmen low (Rp200–400 juta) yang merosot 36 persen, serta segmen kendaraan komersial yang turun 23 persen. 

Ketiga segmen ini selama ini menyasar konsumen domestik, terutama kelompok masyarakat kelas menengah, serta menjadi basis produksi terbesar di dalam negeri.

Menurut Febri, pelemahan pasar yang terjadi secara simultan dapat berdampak pada penurunan utilisasi pabrik, penurunan investasi, serta berpotensi mengancam keberlanjutan lapangan kerja di industri otomotif dan sektor komponen. "Tidak adanya intervensi kebijakan akan membuat tekanan ini semakin dalam, dan efeknya dapat memengaruhi struktur industri secara keseluruhan," katanya.

BERITALAINNYA
BERITATERKINI