Publik Tak Rela Presiden Semobil Bareng Ahok, Pengamat Anggap Tak Menyalahi Aturan
JAKARTA, sinpo - Belakangan ini publik kembali ramai dikarenakan ada kejadian yang tidak seharusnya terjadi, yakni satu mobilnya Presiden Joko Widodo (Jokowi) dengan Gubernur DKI Jakarta Petahana Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) setelah melakukan peninjauan MRT dan LRT.
Menanggapi hal tersebut, Pengamat Politik dari Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Adi Prayitno, mengungkapkan bahwa hal itu bisa ramai karena status Ahok yang sudah terdakwa dalam kasus penistaan agama.
"Publik sepertinya tak rela jika mobil dinas presiden yang sakral harus dinaiki oleh sosok yang sedang bermasalah dengan kasus hukum," ungkapnya kepada sinpo.id, Jakarta, Senin (27/02).
Jika dalam kondisi normal, menurut Adi, satu mobilnya Presiden dengan seorang Gubernur merupakan hal yang wajar. Namun akan berbeda jika Gubernur tersebut sedang tersandung masalah hukum, terlebih lagi sudah berstatus terdakwa.
"Itu (semobil dengan Gubernur) tak menyalahi peraturan maupun protap yang ada. Yang menjadi persoalan karena kondisinya sedang tak normal dimana Ahok masih terbelit kasus hukum. Inilah yang membuat sejumlah kalangan jadi ribut," ujarnya.
Oleh itulah, lanjut Adi, demi menghindari keributan, sejatinya Presiden Jokowi menghindari satu mobil dengan Ahok. Sebab, tensi politik di Jakarta makin mendidih menjelang putaran kedua.
"Segala hal yang dilakukan oleh Ahok pasti dicurigai. Dan ini tak baik buat perkembangan demokrasi ke depan. Jangan sampai muncul dugaan-dugaan liar di masyarakat," katanya.
Adi menambahkan, publik hanya bertanya soal kepantasan saja. Jika pemerintah menganggap semobilnya Presiden dengan Ahok sebagai sesuatu yang pantas dan tak menyalahi etika, maka jangan salahkan jika ke depan akan banyak pejabat publik yang akan bermesraan dengan seseorang yang sedang dirundung kasus hukum.
"Biar Presiden jelaskan soal kebersamaannya itu dengan Ahok. Kita tunggu aja. Sekalipun tak ada penjelasan apapun dari presiden, biarkan rakyat yang nenilai. Dan jangan salahkan jika di kemudian hari para pejabat di negara ini begitu bebas bermesraan denan seorang terdakwa," ungkap Dosen Politik di FISIP UIN Jakarta itu. (dny/tsa)

