Menag: Ditjen Bukan Dirancang Jadi Penguasa Pesantren, tapi Fasilitator

Laporan: Tio Pirnando
Jumat, 28 November 2025 | 20:45 WIB
Menteri Agama RI Nasaruddin Umar. (SinPo.id/dok. Kemenag)
Menteri Agama RI Nasaruddin Umar. (SinPo.id/dok. Kemenag)

SinPo.id - Kementerian Agama (Kemenag) tengah mematangkan regulasi pembentukan Direktorat Jenderal (Ditjen) Pesantren, dengan cara menyerap aspirasi dari seluruh stakeholders terkait. Karenanya, rancangan Peraturan Presiden (Perpres) tentang Ditjen Pesantren menggunakan pendekatan yang inklusif dan partisipatif.

"Lembaga baru ini tidak dirancang untuk menjadi 'penguasa' pesantren, melainkan sebagai fasilitator yang melayani kebutuhan khas lembaga pendidikan tertua di Indonesia tersebut," kata Nasaruddin dalam keterangannya, Jumat, 28 November 2025.

Menag menekankan pentingnya legitimasi sosial dalam penyusunan kebijakan strategis ini. Ia meminta jajarannya untuk aktif menyerap aspirasi dengan mengundang berbagai pemangku kepentingan, termasuk 68 Organisasi Kemasyarakatan (Ormas) Islam, sebelum regulasi ditetapkan.

"Kita perlu kumpulkan ormas-ormas Islam, kita kumpul dengan stakeholders. Apa yang diinginkan oleh NU, Muhammadiyah, dan lain-lain. Kita seperti keranjang, tampung, tampung, dan tampung aspirasi mereka," ujar Nasaruddin.

Langkah ini diambil untuk menghindari kesan birokratisasi yang kaku atau pendekatan top-down dari pemerintah. Ia ingin memastikan bahwa kehadiran Ditjen Pesantren benar-benar lahir dari kebutuhan umat.

"Kehadiran ormas memberikan jawaban kelembagaan, bahwa ini tidak tiba-tiba terwujud. Jangan sampai orang menganggap Kementerian Agama itu birokrat murni. Kita butuh legitimasi personal, legitimasi sosial, dan legitimasi institusi," ucapnya.

Rancangan Ditjen Pesantren didasarkan pada filosofi khidmah (pelayanan). Struktur kelembagaan yang disusun bertujuan untuk memberikan distingsi (pembeda) yang jelas antara pendidikan umum, pendidikan Islam, dan pendidikan pesantren yang memiliki karakteristik unik.

Nasaruddin menjelaskan bahwa pendidikan pesantren memiliki ontologi yang berbeda dengan sekolah umum. Jika sekolah umum berbasis pada transfer pengetahuan, pesantren menggunakan pendekatan hudhuri (keyakinan/presensi spiritual) yang menyentuh aspek rasa dan batin.

"Pesantren memiliki kedalaman spiritual 'kuning langsat'. Pesantren tidak hanya bicara soal halal-haram atau alim-jahil, tetapi menyentuh aspek wushul (sampai kepada Allah) dan menjauhi ghafil (lalai). Karena itu, Ditjen Pesantren harus menjadi pelayan yang memahami kekhasan ini, bukan sekadar komando," jelasnya.

Sesuai amanat UU No. 18 Tahun 2019, Ditjen Pesantren nantinya akan mengelola tiga fungsi utama yang distingtif, yaitu Pendidikan, Dakwah, dan Pemberdayaan Masyarakat.

Dalam aspek pemberdayaan, Kemenag berkomitmen memposisikan pesantren sebagai subjek, bukan objek bantuan. Pemberdayaan akan berbasis pada potensi lokal unik (Local Magic) dan kemandirian ekonomi pesantren agar tidak bergantung sepenuhnya pada pihak luar.

"Negara hadir sebagai fasilitator. Jangan memposisikan diri sebagai donor yang mematikan inisiatif. Pemberdayaan harus berbasis pada kemandirian pesantren itu sendiri," tegasnya.

Kemenag menargetkan draf rancangan struktur dan regulasi ini dapat diselesaikan dan diserahkan sebelum Januari 2026. Dengan melibatkan Majelis Masyayikh dan Dewan Masyayikh, pemerintah berharap Ditjen Pesantren dapat menjadi payung hukum yang memperkuat peran pesantren tanpa mencabut akar kemandiriannya.

BERITALAINNYA
BERITATERKINI