Perdamaian di Gaza Palestina

Pasukan Damai Untuk Gaza

Laporan: Tim Redaksi
Jumat, 28 November 2025 | 07:00 WIB
Ilustrasi (SinPo.id/Wawan Wiguna)
Ilustrasi (SinPo.id/Wawan Wiguna)

Berbagai macam penugasan, termasuk persoalan kemanusiaan. Spesifikasi penugasan akan diberdayakan kebutuhan-kebutuhan kemanusiaan, juga rehabilitasi konstruksi yang rusak

SinPo.id -  Pemerintah sepakat mengirimkan pasukan perdamaian ke Gaza Palestina sebagai langkah menjaga pedamaian konflik Palestina dan Isreal.  Pasukan yang dikirim bertugas menjaga situasi damai hingga tercapai perundingan politik. Menteri Pertahanan (Menhan) Sjafrie Sjamsoeddin, mengatakan telah menerima perintah dari Presiden Prabowo Subianto untuk menyiapkan pasukan perdamaian ke Gaza, di bawah mandat PBB. 

"Kami telah menerima perintah persiapan dari Bapak Presiden untuk mempersiapkan pasukan pemeliharaan perdamaian di bawah Perserikatan Bangsa-Bangsa," kata Sjahfire, usai Raker dengan komisi I DPRRI dan TNI, Senin, 24 November 2025.

Sjahfrie menjelaskan, pasukan perdamaian tersebut secara substansi dipersiapkan oleh Panglima TNI dengan berbagai macam penugasan, termasuk dalam persoalan kemanusiaan. Sedangkan spesifikasi penugasan akan diberdayakan untuk kebutuhan-kebutuhan kemanusiaan.

“Dan juga rehabilitasi dari konstruksi-konstruksi yang telah mengalami kerusakan," kata Sjafrie menjelaskan.

Panglima TNI, Jenderal Agus Subiyanto, mengatakan persiapan pasukan perdamaian ke Gaza saat ini sudah dalam tahap seleksi. Salah satunya adalah tes kesehatan, baik fisik maupun psikologi. "Untuk rekrutmen pasukan, yang pertama adalah tes kesehatan, tentunya memiliki kesehatan yang baik. Kemudian juga fisik yang baik, psikologi juga," kata Panglima, di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Senin, 24 November 2025.

Agus mengatakan pasukan perdamaian yang dikirim ke Gaza  akan dipimpin oleh jenderal bintang tiga yang membawahi tiga brigade.

"Nanti di bawah brigade komposit itu terdiri dari satu batalyon kesehatan, satu batalyon seni konstruksi, kemudian batalyon bantuan, dan ada lagi bantuan mekanis," kata Agus menjelaskan

Selain itu TNI akan menyiapkan helikopter, dan pesawat C-130 Hercules, dari Angkatan Udara, termasuk dua kapal rumah sakit dari Angkatan Laut lengkap dengan helikopter yang ada di pesawat tersebut.

Agar Israel Tak Lagi Berulah

Wakil Ketua Komisi I DPR RI Sukamta menegaskan rencana pengiriman pasukan TNI ke Gaza harus ditempatkan dalam kerangka misi perdamaian, sebagaimana amanat Pembukaan UUD NRI 1945. Ia mengingatkan dua hal penting peran TNI selama bertugas di Gaza.

“Pertama, pengiriman pasukan harus berada dalam kerangka penjaga perdamaian, agar tidak dimanfaatkan oleh Israel untuk mencapai tujuan-tujuannya yang tidak berhasil dicapai melalui tindakan genosida selama dua tahun terakhir,” ujar Sukamta.

Menurut Sukamta, salah satu tujuan dibentuknya Negara Indonesia adalah menjaga ketertiban dunia. Terlebih, Indonesia juga selalu terlibat aktif dalam misi perdamaian di berbagai kawasan konflik.

“Saya percaya kemampuan Pemerintah dan TNI yang sudah teruji sebagai penjaga perdamaian di berbagai kawasan dalam waktu yang panjang. Saya yakin tidak akan mudah dikecoh oleh kelicikan dan kelicinan Israel,”  ujar Sukamta menegaskan.

Selain itu ia mengingtakan, pengiriman pasukan perlu memiliki mandat payung besar lembaga internasional, seperti PBB atau OKI Plus, agar operasi berlangsung aman dan legitimate. Namun, tetap harus harus disesuaikan dengan kebutuhan di lapangan dan kesiapan TNI.

“Jika melihat kebutuhan, tentu matra AD, AL, dan AU diperlukan. AD karena konflik banyak terjadi melalui serangan darat. AL dan AU diperlukan untuk mengawal bantuan kemanusiaan yang masuk lewat jalur laut dan udara,"  ujar Sukamta menjelaskan.

Jika dimungkinkan, kata Sukamta, satuan siber juga bisa dipertimbangkan untuk mengawasi serangan antara pihak-pihak yang bertikai.

Kondisi Gaza Terbaru, Sebuah Catatan

Dikutip dari education.cfr.org menunjukkan kondisi di gaza belum sepenuhnya damai. Bahkan disebutkan upaya perjanjian gencatan senjata yang berlaku efektif pada Januari 2025  terbukti berumur pendek. Berdasarkan ketentuan gencatan senjata, Hamas mulai membebaskan sandera, sementara Israel membebaskan tahanan Palestina sebagai gantinya. Israel juga setuju untuk mengizinkan bantuan kemanusiaan masuk untuk mengatasi situasi kemanusiaan yang mengerikan bagi penduduk di Gaza.

Gencatan senjata awalnya menetapkan jalan menuju akhir perang sepenuhnya. Namun, dalam beberapa bulan, kedua belah pihak mulai saling menuduh melanggar ketentuan perjanjian. Pada bulan Maret, Israel meluncurkan serangan udara baru dan memblokir bantuan dan energi yang masuk ke Gaza, dan pada bulan Mei, memperbarui operasi darat skala penuh.

Sementara itu, upaya yang sedang berlangsung untuk memediasi perjanjian gencatan senjata baru tetap tidak berhasil. Setelah lebih dari setahun bertempur, Israel dan Hamas masih berkonflik. Hampir 60 ribu warga Palestina telah terbunuh, banyak dari mereka warga sipil. Lebih dari 50 sandera Israel masih ditahan oleh Hamas.

Sedangkan catatan hukumonline.com menyebutkan Pertemuan dewan keamanan PBB menyoroti rapuhnya gencatan senjata Israel-Hamas dan mendesak seluruh pihak mematuhi hukum internasional. Termasuk mengimplementasikan Resolusi 2803 (2025) dan advisory opinion ICJ.

Hal itu menjadi dalih PBB menggelar pertemuan membahas rapuhnya gencatan senjata di Gaza dengan fokus pada upaya mempertahankan gencatan senjata, melonggarkan akses bantuan kemanusiaan, serta menjaga momentum politik. Di tengah meningkatnya ketegangan di Tepi Barat (West Bank), pertemuan ini bertujuan meneguhkan langkah Dewan dalam menstabilkan situasi serta mengawal jalur menuju penentuan nasib sendiri bagi Palestina.

“Meskipun kemajuan di lapangan masih rapuh dan ketidakpastian masih ada, kita harus memanfaatkan kesempatan yang ada untuk memetakan masa depan yang lebih baik bagi Palestina, Israel, dan kawasan secara keseluruhan,” ujar Wakil Koordinator Khusus, Kantor Koordinator Khusus PBB untuk Proses Perdamaian Timur Tengah (UNSCO), Ramiz Alakbarov, di hadapan Dewan Keamanan PBB sebagaimana dilansir UN News, Senin 24 September lalu.

Ramiz mendorong seluruh pihak untuk menahan diri demi memenuhi komitmen dalam perjanjian yang disepakati. Ia juga menyoroti Dewan Keamanan PBB yang memutuskan langkah penting dalam konsolidasi gencatan senjata melalui pengadopsian Resolusi 2803 (2025) pada 17 November lalu. Dokumen tersebut mendukung rencana Amerika Serikat dan mengerahkan pasukan stabilisasi internasional (ISF) sementara untuk Gaza.

“Meskipun masih menghadapi kondisi hidup yang tak tertahankan dan kehancuran yang tampaknya tak teratasi, warga Gaza setidaknya telah merasakan secercah harapan pertama atas pemboman yang hampir terus-menerus selama 2 tahun terakhir. Pada saat yang sama, keluarga-keluarga Israel telah dipertemukan kembali dengan kerabat mereka yang disandera,”  kata Ramiz menambahkan.

Ia mengatakan, upaya untuk memobilisasi dan meningkatkan bantuan kemanusiaan harus diperluas. Mengingat situasi di Gaza saat ini sangat buruk secara fisik, ekonomi, dan sosial. Ia turut menyampaikan bahwa lebih dari 1,7 juta orang masih mengungsi dan hampir 80 persen bangunan rusak atau hancur.

Sedangkan di Tepi Barat, situasinya disebutkan telah mencapai level darurat. Dengan perluasan permukiman hingga kekerasan. Termasuk kekerasan pemukim, penggusuran, dan pengusiran terus meningkat pada tingkat yang mengkhawatirkan. Operasi militer yang dilancarkan Israel, khususnya di utara, telah mengakibatkan kematian, kerusakan, dan pengungsian berkelanjutan ribuan warga Palestina dari kamp-kamp pengungsi. (*)

BERITALAINNYA
BERITATERKINI