Korupsi Tata Kelola Minyak, Saksi Ungkap Dilema Ekspor-Impor Saat Pandemi

Laporan: Bayu Primanda
Kamis, 27 November 2025 | 15:03 WIB
Sidang kasus korupsi tata kelola minyak (Sinpo.id)
Sidang kasus korupsi tata kelola minyak (Sinpo.id)

SinPo.id -  Ada fakta menarik pada persidangan kasus tata kelola migas PT Pertamina (Persero) yang sedang berjalan saat ini.

Terdapat keterangan saksi-saksi yang sangat teknis namun menjawab permasalahan yang terjadi.

Sayangnya, keterangan teknis ini terlalu berat untuk dipahami publik sehingga luput dari perhatian.

Salah satunya adalah keterangan Saksi Dwi Sudarsono selaku VP Crude Trading Integrated Supply Chain (ISC) Pertamina periode 2019-2020, yang juga merupakan salah satu terdakwa dalam kasus tata kelola minyak mentah di tubuh Pertamina.

Dalam sidang lanjutan kasus dugaan korupsi tata kelola minyak mentah Selasa, 18 November 2025 malam.

Dwi memberikan keterangan, sekaligus untuk para terdakwa dalam kasus ini yakni Direktur Optimasi Feedstock & Produk PT Kilang Pertamina Internasional (KPI) Sani Dinar Saifuddin, mantan VP Feedstock Management PT KPI Agus Purwono, dan mantan Direktur Optimasi Feedstock & Produk KPI Yoki Firnandi.

Dari keterangannya, terungkap bahwa para saksi dan terdakwa telah mengikuti prosedur bahkan hingga berkonsultasi ke Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas (SKK Migas), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), hingga Kejaksaan Agung, sebelum melaksanakan keputusan. Prosedur yang panjang, penuh pertimbangan, yang perlu dijalankan walau seperti memakan buah simalakama.

Tuduhan kepada para terdakwa tersebut adalah terdapatnya pengkondisian dalam rapat optimasi hilir, sehingga menolak untuk menyerap minyak mentah dari dalam negeri dan justru mengimpor dari luar negeri.

Ia menjelaskan, kondisi ini terjadi ketika Pandemi Covid 19 yang merupakan bencana nasional.Pandemi Covid-19 menyebabkan konsumsi BBM nasional turun signifikan, sehingga Pertamina menurunkan produksi kilang. Penurunan intake tersebut membuat minyak Banyu Urip tidak dapat diserap kilang sehingga menghasilkan volume ekses yang terus meningkat.

Dwi menjelaskan bahwa seluruh angka yang digunakan dalam surat-surat internal, termasuk proyeksi ekses minyak mentah 9,4 juta barel merupakan data resmi dari fungsi planning Pertamina, SKK Migas, Forum Shipping Coordination Meeting (Shipcoord), serta RKAP yang disusun lintas direktorat.

“Kami hanya meng-capture data. Tidak bisa membuat atau memanipulasi data sendiri,” tegasnya di hadapan majelis hakim.

Saksi memaparkan bahwa ekses minyak Banyu Urip pada 2020–2021 benar-benar terjadi dan bukan hasil rekayasa.

Data perencanaan menunjukkan ekses mencapai lebih dari 6–9 juta barel, sebuah angka yang turut dipresentasikan dalam rapat BOD.

“Ekses itu nyata. Itu muncul karena penurunan demand dan keterbatasan penyerapan kilang,” jelas Dwi.

Dia menambahkan produksi dari lapangan tidak dapat dihentikan, karena akan merusak struktur operasi dan menurunkan penerimaan negara. SKK Migas tegas meminta Pertamina mengamankan lifting minyak mentah khususnya Banyu Urip, karena tidak memungkinkan untuk menutup sumur minyak. Hal ini yang menyebabkan minyak yang tidak terserap harus ditampung dalam floating storage di kapal tanker.

“Seingat saya floating storage itu sangat membebani Pertamina karena membutuhkan biaya sewa kapal,” ujar saksi.

Dwi menambahkan sejak pertengahan 2020, Pertamina telah mencoba pelelangan minyak mentah secara spot berkali-kali, namun semua penawaran jatuh pada harga negatif.

Pertamina bahkan sempat beberapa kali berkonsultasi dengan SKK Migas, Kementerian ESDM, KPK, dan Kejaksaan Agung untuk menanyakan apakah minyak mentah boleh dijual pada harga minus atau rugi.

"Apakah SKK Migas mau menanggung selisih biaya apabila dijual di harga minus? Dan mereka menjawab tidak mau," ujarnya.

Pada kondisi tersebut, fungsi planning dan rapat optimasi hilir menginstruksikan opsi ekspor. Saksi menyatakan bahwa terdakwa hanya menjalankan keputusan tersebut.

“Kami hanya melaksanakan order dari rapat Optimasi Hilir (ophil). Tidak bisa memutuskan ekspor sendiri,” katanya.

Dwi juga menegaskan bahwa ekspor minyak mentah dilakukan oleh Pertamina Holding, bukan PT. KPI. Hal ini disebabkan karena struktur organisasi saat itu masih dalam tahap transisi subholding. Hal ini sejalan dengan dokumen yang menyebut Pertamina sebagai pihak yang berwenang menjual minyak bagian negara.

Dalam dakwaan Jaksa Penuntut Umum kepada para terdakwa disebutkan bahwa Pertamina melakukan impor minyak mentah “dengan jenis yang sama” yang sebelumnya diekspor.

Namun, saksi Dwi Sudarsono membantah generalisasi tersebut. Meski sama-sama dikategorikan heavy crude, karakter minyak impor dan Banyu Urip berbeda secara teknis yield, kandungan sulfur, lokasi produksi, dan spesifikasi kilang yang membutuhkan jenis tertentu.

Dengan demikian, impor bukan untuk menggantikan minyak yang diekspor, tetapi memenuhi kebutuhan kilang yang tidak dapat dipenuhi oleh produksi domestik.

“Jenisnya sama heavy, tapi dagingnya beda. Trading tidak menentukan jenis, hanya melaksanakan memo kebutuhan dari operasi,” kata Dwi.

Saksi Dwi juga menyatakan bahwa para terdakwa yakni Sani Dinar, Agus Purwono, dan Yoki Firnandi adalah fungsional eksekusi, bukan pengambil keputusan. Mereka hanya menjalankan prosedur dan perintah dari Pertamina untuk melakukan ekspor maupun impor. Adapun keputusan tersebut dilakukan oleh fungsi Departemen Perencanaan Pertamina Holding.

Dwi menegaskan para terdakwa tidak memiliki kewenangan meminta re-run RKAP, tidak bisa mengubah data lifting atau entitlement, tidak dapat mengintervensi hasil GRTMPS (Generalized Refinery Transportation Marketing Planning System), tidak menentukan volume maupun jadwal impor, tidak menyusun angka ekses minyak mentah, dan tidak memiliki otoritas atas keputusan jual–beli.

Pada kesempatan yang sama Dwi Sudarsono menegaskan bahwa penolakan untuk menyerap hasil produksi minyak dari Belida dan Ketapang merupakan keputusan dia.

Dia menjelaskan minyak Belida tidak disepakati karena penawaran kontraknya berlaku hingga 2022 dan tidak dapat dihitung keekonomiannya oleh kilang. Sementara minyak Ketapang ditolak karena nilai ekonominya negatif.

“Kalau kita beli flat pun rugi. Jadi tidak bisa diterima,” ujarnya.

Menurut Dwi, kedua penolakan tersebut kemudian dilaporkan secara administratif ke jenjang di atasnya, sehingga bukan merupakan keputusan pribadi dari para terdakwa.

Ekspor merupakan keputusan struktural untuk mengurangi beban floating storage.

BERITALAINNYA
BERITATERKINI