SEI Ungkap Dugaan Monopoli BBM Non-PSO oleh Pertamina Patra Niaga, Soroti Peran Dirut

Laporan: Tim Redaksi
Jumat, 17 Oktober 2025 | 14:22 WIB
Koordinator Nasional SEI, Hexa Todo (SinPo.id/Dok. Pribadi)
Koordinator Nasional SEI, Hexa Todo (SinPo.id/Dok. Pribadi)

SinPo.id - Sentinel Energy Indonesia (SEI) menyoroti dugaan praktik monopoli dan penyimpangan dalam tata niaga bahan bakar minyak (BBM) Non-PSO yang dilakukan oleh Pertamina Patra Niaga (PPN). Dugaan tersebut menyeret nama Direktur Utama PPN, Mars Ega, serta mengaitkannya dengan skema kebijakan yang dinilai menutup kompetisi dan melemahkan pasar swasta.

SEI juga memantau proses pemeriksaan dan persidangan kasus dugaan korupsi BBM yang tengah ditangani Kejaksaan Agung. Kasus itu turut menyeret Direktur Utama Pertamina Patra Niaga sebelumnya, Riva Siahaan, serta sosok kuat yang diduga mafia minyak, Riza Chalid.

Dalam hasil penelusuran SEI sejak 2023 hingga 2025, tata niaga BBM Non-PSO disebut tidak dijalankan secara terbuka dan adil. Sebaliknya, sistem tersebut dinilai menjadi arena permainan kekuasaan yang mengaburkan akuntabilitas publik dan mengunci pasar energi nasional di bawah satu kendali.

“Yang kami lihat bukan kesalahan administratif. Ini sistem yang disusun rapi, jadi sengaja by design, ada larangan, ada pemaksaan, dan ada bahan bakar di bawah standar yang tetap beredar di pasar nasional. Semua benangnya bermuara pada pucuk pimpinan Patra Niaga saat ini, Direktur Utama, ke Mars Ega,” ungkap Koordinator Nasional SEI, Hexa Todo, dalam keterangannya, Jumat, 17 Oktober 2025.

Menurut Hexa, akar persoalan dimulai pada 2023 ketika Mars Ega masih menjabat sebagai Direktur Pemasaran Regional PPN. Saat itu, ia mengeluarkan kebijakan pelarangan penjualan BBM Non-PSO kepada SPBU swasta.

Kebijakan tersebut, kata Hexa, cukup untuk “mematikan separuh nyawa pasar”. SPBU swasta dipaksa berjuang sendiri mengurus impor, menghadapi birokrasi, dan membayar harga tinggi. Akibatnya, pasar terkunci, devisa negara terkuras, dan dominasi Pertamina Patra Niaga menguat di balik dalih “pengaturan distribusi.”

“Begitu larangan diberlakukan, swasta kehilangan peran. Pasar dikunci, dan persaingan mati. BBM Non-PSO berubah menjadi arena tunggal di bawah kendali satu tangan,” ujar Hexa.

Memasuki 2025, Kementerian ESDM menerbitkan kebijakan baru yang mewajibkan SPBU swasta membeli BBM dari Pertamina Patra Niaga setelah kuota impornya habis, meskipun harga dan spesifikasinya ditentukan sepihak. SEI menilai kebijakan tersebut tidak lahir dari pertimbangan teknokratis, melainkan akibat tekanan politik dan hukum setelah Kejaksaan Agung mulai menelusuri nama-nama besar di tubuh Pertamina.

“Tekanan itu terasa. Swasta dipaksa beli dari PPN, sementara PPN bebas menentukan harga dan spesifikasi. Ini bukan mekanisme pasar, ini pemaksaan kebijakan,” tegas Hexa.

SEI mencatat bahwa pada 19 September 2025, dalam pertemuan di kantor ESDM, pihak swasta dan Pertamina Patra Niaga sempat menyepakati bahan bakar harus sesuai spesifikasi dan boleh diinspeksi di pelabuhan asal. Namun dua minggu kemudian, janji tersebut dilanggar karena BBM dikirim tanpa inspeksi independen.

Ketika permasalahan itu dilaporkan dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) Komisi VII DPR RI pada 1 Oktober 2025, Mars Ega tidak hadir. Ia disebut memilih bersembunyi di balik korporasi dan menugaskan wakil direkturnya untuk memberikan penjelasan.

“Ketidakhadirannya bukan karena jadwal, tapi karena ada kejahatan yang disembunyikan meski sudah jelas terlihat secara kasat mata,” ucap Hexa Todo.

SEI menilai pola penyimpangan BBM Non-PSO ini bukan tindakan individu, melainkan bagian dari jaringan kekuasaan yang dibiarkan tumbuh. Dalam konferensi pers Kejagung pada 10 Juli 2025, sembilan tersangka diumumkan, termasuk Alvian Nasution dan Mohammad Riza Chalid, yang disebut sebagai beneficial owner PT Orbit Terminal Merak.

Temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) turut memperkuat dugaan pelanggaran. BPK mencatat bahwa Nicke Widyawati, Mars Ega, dan Alvian Nasution diduga menjual solar industri kepada perusahaan tambang Grup Adaro dengan harga di bawah solar subsidi bahkan di bawah Harga Pokok Penjualan (HPP). Jika dugaan tersebut benar, subsidi publik disebut telah berpindah ke kantong korporasi besar.

Di sisi lain, isu formula harga Pertalite turut disorot. Pertamina disebut mengusulkan Harga Indeks Pasar (HIP) Pertalite RON 90 sebesar 99,21 persen dari MOPS RON 92, dengan dalih bahwa Pertalite hanyalah campuran Mogas RON 88 dan RON 92. Dengan begitu, publik membeli “campuran kompromi” yang dijual dengan harga penuh.

Dari hasil investigasi SEI dan penelusuran media, pola penyimpangan itu terbaca jelas dalam tiga tahapan. Pertama, larangan menjual BBM Non-PSO ke swasta;
kedua, pemaksaan pembelian dari PPN;
dan ketiga, pelanggaran spesifikasi dalam distribusi.

“Pertanyaannya sederhana: dari mana asal kargo BBM itu? Siapa yang menyetujui pengirimannya? Dan apakah Pertamina sadar bahwa BBM Non-PSO di bawah spesifikasi ini sudah lama beredar di pasar nasional?” tutur Hexa Todo.

SEI mendesak pemerintah dan aparat penegak hukum mengambil langkah konkret. Ada tiga tuntutan utama yang disampaikan: Pertama, SEI meminta audit independen atas seluruh transaksi BBM Non-PSO Pertamina Patra Niaga periode 2023–2025. Kedua, keterbukaan data impor serta izin jual-beli BBM Non-PSO oleh Kementerian ESDM dan BUMN. Ketiga, penyelidikan oleh KPK dan Kejaksaan Agung atas dugaan penyalahgunaan wewenang serta praktik impor BBM di bawah spesifikasi.

“Energi adalah nadi negara, bukan sumber rente bagi pejabat. Ketika pasar dikunci, mutu dikorbankan, dan hukum bungkam, yang tersisa hanyalah kejahatan yang dilegalkan oleh kebijakan. Negara tidak boleh menutup mata. Publik berhak tahu, dan hukum wajib turun tangan,” tegas Hexa Todo menutup pernyataannya.

BERITALAINNYA
BERITATERKINI