Kapolda Jatim: 58 Orang Belum Diketahui Usai Musala Ponpes Al Khoziny Ambruk, Pendataan Dibagi 3 Klaster
SinPo.id - Kapolda Jawa Timur Inspektur Jenderal Polisi Nanang Avianto mengungkapkan pendataan korban ambruknya musala Pondok Pesantren Al Khoziny, Buduran, Sidoarjo, dilakukan dengan membagi tiga klaster. Tiga kelompok tersebut mencakup santri, pengurus pesantren, dan pekerja pembangunan.
“Penghuni di sana yang kemudian dimasukkan datanya di posko kita bagi dalam tiga klaster. Yang pertama jumlah santrinya, kedua pengurus pesantren, dan ketiga pekerja yang melakukan pembangunan pesantren itu,” kata Nanang di Mapolda Jatim, Surabaya, Jumat 3 Oktober 2025.
Menurutnya, pengelompokan ini memudahkan petugas dalam melacak keberadaan penghuni yang sebelumnya tercatat berada di lingkungan pesantren saat bangunan runtuh. Dari pendataan awal, sebagian besar korban yang teridentifikasi merupakan santri dan pengurus, sementara data pekerja masih terus dikumpulkan.
Meski demikian, Nanang menegaskan prioritas utama sejak awal tetap pada penyelamatan korban.
“Tahapan kemarin di awal adalah kita mengutamakan pertolongan kepada korban dulu sambil pendataan,” ujarnya.
Setelah masa golden time berakhir, evakuasi kini difokuskan pada pembersihan material. Tim gabungan dari Basarnas, TNI, Polri, Pemadam Kebakaran (Damkar), serta relawan terus dikerahkan untuk mempercepat pencarian.
“Supaya tidak ada yang terganggu, kita pusatkan di sini di Rumah Sakit Bhayangkara. Ini sudah kita persiapkan mulai dari peralatan hingga tim medis,” tambah Kapolda.
Hingga kini, kata Nanang, masih ada sekitar 58 orang yang belum diketahui keberadaannya. Dari jumlah tersebut, lima jenazah telah ditemukan dan dibawa ke RS Bhayangkara Surabaya untuk proses identifikasi.
“Pendataan awal dari Dukcapil kita gunakan, mulai dari sidik jari, retina mata, darah, DNA, hingga properti dan pakaian korban. Semua sedang kita identifikasi,” jelasnya.
Ia menegaskan proses identifikasi dilakukan transparan melalui posko pendataan agar keluarga korban segera mendapatkan kepastian.
“Apapun yang terjadi harus kita terima sebagai musibah. Namun ini juga menjadi pembelajaran agar setiap proses pembangunan mematuhi spesifikasi dan perizinan yang ada, supaya kejadian seperti ini tidak terulang,” ucapnya.
